Senin, 16 Agustus 2010

SUBDURAL HEMORAGIK

PENDAHULUAN
Rongga subdural ialah rongga potensial kecil yang terletak antara duramater bagian dalam dan araknoid. Lapisan cairan yang tipis di dalam rongga subdura bukan cairan serebrospinal. Rongga epidura yang mengelilingi SSTL ialah rongga antara duramater dan perosteum tulang belakang. Rongga ini berisi pembuluh darah dan lemak. Rongga epidura tidak ada dibagian kepala oleh karena di bagian ini duramater bagian dalam dan luar bersatu rapat, kecuali pada tempat-tempat dimana kedua lapis duramater itu membentuk dinding sinus venosus dura yang menguras darah vena dari otak. Duramater berlanjut pada saraf otak dan spinal sehingga sering duramater yang sebenarnya bersinambung dengan epineurium saraf-saraf perifer. Rongga epidura di daerah sacral SSTL di dalam klinik digunakan untuk tempat suntikan zat anestesi untuk membendung input sensorik dari perifer ( pada persalinan tanpa nyeri ) (1) .
Tiga selaput otak atau meningen yang membungkus otak : duramater, araknoid, dan piamater. Dura selaput terluar dipisahkan dari araknoid yang tipis oleh kompartment potensial. Kavum subdural biasanya hanya berisi beberapa tetes cairan serebrospinal. Kavum subaraknoid yang luas mengandung cairan serebrospinal dan arteri-arteri utama yang memisahkan araknoid dari piamater, yang secara lengkap menyelubungi otak. Araknoid dan piamater dikenal sebagai leptomeningen dan saling dihubungkan oleh benang-benang halus di jaringan trabekula araknoid. Piamater bersama dengan perluasan dari ruang subaraknoid yang sempit, menyertai pembuluh-pembuluh sampai kedalam jaringan otak. Ruang ini dinamakan ruang perivaskular atau ruang Virchow Robin (3) .
Di negara-negara barat, kecelakaan merupakan penyebab utama kematian individu yang berumur kurang dari 45 tahun. Angka cedera kepala mendekati 70% dari kematian akibat trauma ini dan sebagian besar mengalami kecacatan bagi orang yang mengalami kecelakaan bertahan hidup. Namun hampir 50% pasien dengan cedera kepala yang memerlukan bedah saraf darurat datang dengan cedera kepala ringan atau berat ( GCS score 9-13 dan 14-15, secara berurut). Beberapa pasien mempunyai lasi massa intrakranial yang memerlukan dekompresi darurat lebih dari setengahnya mempunyai lucid interval dan mereka mampu membuat percakapan lantaran waktu terjadinya cedera dan rangkaian perubahan (7) .
Hematom intrakranial mempunyai peran penting dalam kematian dan kecacatan yang dihubungkan dengan cedera kepala. Hematom subdural akut merupakan tipe yang paling sering dari hematom intrakranial traumatic. Ditemukan dalam 24% pada pasien koma. Tipe cedera kepala ini juga sangat berhubungan dengan kerusakan otak yang lambat, yang kemudian digambarkan pada CT-Scan. Trauma signifikan tidak hanya disebabkan oleh hematom subdural. Hematom subdural kronik dapat terjadi pada kejadian sebelumnya yang tidak pernah diketahui (7) .

DEFINISI
Perdarahan Subdural adalah pengumpulan darah di ruangan antara bagian dalam dan bagian luar selaput pembungkus otak. Gejala sering terjadi singkat setelah head injury (4) .
Perdarahan subdural kronik adalah pengumpulan darah yang lama (beberapa minggu setelah injury ) dan darah berkumpul antara permukaan otak dan penutup luarnya (dura ) (5) .
Perdarahan subdural kronik didefinisikan tidak tentu sebagai suatu hematom yang tampak dalam 21 hari atau lebih setelah cedera. Hematom subdural akut didefinisikan secara tidak tentu sebagai suatu hematom yang tampak antara 4 hari sampai 21 hari setelah cedera (7) .

EPIDEMIOLOGI
Hematom subdural yang akut jarang terjadi. Literatur tentang laporan kasus sporadic sangat terbatas. Kasus ini sering mempunyai suatu sumber arteri, karena mereka biasanya dihubungkan dengan keadaan patologis yang sama seperti yang terjadi pada perdarahan subaraknoid dan perdarahan intraserebral. Darah dari ruptur aneurisma bisa masuk memotong melalui parenkim otak atau ruang subaraknoid. Nyatanya, kasus telah dilaporkan mengenai suatu hematom subdural akut yang dicetus dengan penyalahgunaan kokain (7) .
Suatu penelitian retrospektif melaporkan bahwa 56% dari kasus pada pasien dalam kelima dan decade ketujuh. Penelitian lain mencatat bahwa lebih dari setengah dari semua kasus terlihat pqada pasien >60 tahun . Insiden yang tertinggi dari 7,,35 per 100.000 terjadi pada remaja dengan umur 10-19 tahun (7)
Rata-rata mortalitas pada pasien dengan hematom subdural akut dilaporkan berkisar 30-90 %, tetapi sekitar 60% adalah tipikal . Rata-rata morbiditas dan mortalitasnya dihubungkan dengan pengobatan secara pembedahan dari hematom subdural kronik, telah diperkirakan berkisar 11% dan 5% secara berurutan. Hematom subdural dapat terjadi pada semua umur (4,7 )
ETIOLOGI
Hemoragi subdura biasanya disebabkan oleh sobeknya vena di tempat vena itu melalui rongga subdura. Gerak otak depan relatif terhadap dura dengan mendadak, dapat terjadi setelah mendapat pukulan yang tidak mengakibatkan fraktur tengkorak (1) .
Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis walaupun traumanya mungkin tidak berarti ( trauma pada orang tua ) sehingga tidak terungkap oleh anamnesis. Yang seringkali berdarah ialah bridging veins, karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik otak (6) .
Subdural merupakan lapisan sebelum dura ( duramater adalah membran pembungkus terluar dari otak ). Subdural hematom terjadi ketika darah vena yang berlokasi antara lapisan pembungkus otak ( meningen ) ditemukan darah setelah head injury pada kepala. Subdural hematom timbul ketika vena-vena yang berjalan antara dura dan permukaan otsk pecah dan mengeluarkan darah. Pengumpulan darah kemudian terbentuk diatas permukaan otak. Pada pengumpulan subdural kronik, darah yang berasal dari vena-vena berjalan lambat. Ini dapat terjadi karena head injury atau frekuensi kurang, itu dapat terjadi spontan jika pasien agak tua (4,5) .
Hematom subdural kronik biasanya dihubungkan dengan atropi serebral. Vena batang kortek diperkirakan tekanannya menjadi lebih rendah sebagaimana penyusunan otak yang berangsur-angsur dari tulang tengkorak, bahkan trauma minor bisa menyebabkan satu dari vena menjadi bocor. Perdarahan yang lambat dari sistem vena yang bertekanan rendah sering bisa memperbesar bentuk hematom sebelum nampak tanda-tanda klinis. Hematom subdural yang kecil sering diabsorbsi secara spontan. Kumpulan yang besar dari darah subdural sering mengatur dan membentuk membran vaskuler yang menyelubungi hematom subdural. Perdarahan kecil yang berulang , vena bersama dengan membran ini bertanggung jawab terhadap perluasan dari beberapa hematom subdural (7) .

KLASIFIKASI DAN FAKTOR RESIKO
Subdural hematom sering terjadi sebagai komplikasi dari setelah head injury.Terdiri atas :
- Hematom subdural akut, yang berlangsung cepat, dengan gejala biasanya timbul dalam 24 jam setelah kecelakaan . Deteriorasi terjadi setelahnya.
- Hematom subdural subakut, biasanya timbul gejala dalam 2-10 hari setelah kecelakaan karena penumpukkan darah terjadi lambat dalam subdural. Jelasnya, symptom kecelakaan terjadi secara periodic, dilanjutkan dengan symptom hematom subdural (4) .

Yang termasuk factor resiko (4,5 ) :
 Head injury
 Umur sangat muda atau sangat tua
 Penggunaan aspirin dalam waktu lama
 Pengobatan antikoagulan kronik
 Alkoholik atau penggunaan alcohol kronik
 Beberapa gangguan yang bisa menyebabkan koma

PATOFISIOLOGI
Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid, kedalam rongga subdural ( hemoragi subdura ) antara dura bagian luar dan tengkorak ( hemoragi ekstradura ) atau ke dalam substansi otak sendiri. Putusnya vena-vena penghubung ( bridging veins ) antara permukaan otak dan sinus dural adalah penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena anak-anak memiliki vena-vena yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak ( karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko yang lebih besar (1,3) .
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging veins” . Karena perdarahan subdural sering disebabkan olleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah ( higroma ) (6) .
Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme. Perdarahan yang terjadi akibat rusaknya arteri kortikal (termasuk epidural hematom), perdarahan dari rusaknya dasar parenkim, dan kebocoran pembuluh darah dari korteks terhadap satu dari aliran sinus venosus (7 ) .
Pada semua kasus , pergerakan sagital dari kepala bisa dihasilkan dengan suatu akselerasi angular (kaku ) yang menyebabkan ruptur batang vena parasagital dan suatu hematom subdural yang berat. Gennereli dan Thibault menggambarkan bahwa rata-rata akselerasi dan deselerasi dari kepala merupakan factor utama kegagalan vena (7 ) .

GEJALA KLINIS
Sebenarnya dalam latent interval kebanyakan penderita hematom subdural mengeluh tentang sakit kepala dan pening, seperti umumnya penderita kontusio serebri juga mengeluh setelah trauma kapitis. Tetapi apabila disamping itu timbul gejala-gejala yang mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial, baru pada saat itu timbulnya manifestasi hematom subdural. Gejala-gejala tersebut bisa berupa kesadaran yang makin menurun, “organic brain syndrom”, hemiparesis ringan, hemihipestesia, adakalanya epilepsy fokal dengan adanya tanda-tanda papiledema (6) .
Gejala yang dapat tampak adalah (2): :
1. Penderita mengeluh sakit kepala yang semakin bertambah terus.
2. Tampak ada gangguan psikik.
3. Setelah beberapa lama tampak kesadaran tambah menurun.
4. Kelainan neurologis yang mungkin tampak adalah hemiparese, bangkitan epilepsy, dan papiledema.
5. Arterigrafi karotis dapat memperlihatkan adanya perpindahan ( shift ) dari a.perikallosa ke sisi kontralateral, sedangkan di tempat lokasi dari hematom subdural sendiri akan tampak suatu daerah bebas kontras yang berbentuk bifocal.
6. CT-Scan akan dapat memperlihatkan hematom tersebut dengan baik.

Pada 75% kasus, sakit kepala timbul dengan gejala-gejala paling kurang satu dari karakteristik berikut ini : onsetnya tiba-tiba, nyerinya berat, nausea dan muntah-muntah dan eksaserbasi batuk, ketegangan otot atau latihan. Gejala umum lainnya adalah kelemahan, kejang-kejang, dan inkonntinensia. Hemiparesis dan penurunan kesadaran merupakan tanda yang paling sering terjadi. Hemiparesis terjadi ipsilateral dengan hematom pada 40% kasus (7) .


DIAGNOSA
Penegakkan diagnosa subdural hematom kronis tidaklah gampang. Gejala-gejalanya sangat menyerupai gejala suatu tumor serebri. Hematom subdural kronis itu terletak antara duramater dan araknoid. Ia dapat menyerap cairan dari sekitarnya sehingga lama kelamaan akan bertambah besar. Simptomatologinya sangat menyerupai gejala suatu tumor serebri. Trauma kapitisnya sendiri begitu ringan. Sehingga dapat terjadi bahwa si penderita sendiri tidak ingat lagi tentang kapan dan dimana kepalanya terbentur. Trauma kapitisnya tidak menimbulkan kesadaran menurun (2) .
Pemeriksaan neurologik yang awal menyediakan suatu garis dasar yang penting yang harus digunakan untuk memfollow-up perjalanan klinis pasien. Jika dicatat dalam bentuk score GCS, ia juga memberikan informasi prognostic yang penting (7) .
Pasien dengan cedera kepala yang serius sering di intubasi dengan cepat dan diberikan perawatan yang diorientasi pada trauma. Namun karena prognostiknya yang signifikan, pemeriksaan neurology yang singakat diukur dengan menggunakan GCS yang merupakan komponen penting dari penilaian skunder dan memerlukan waktu kurang dari 2 menit untuk menyempurnakannya (4) .
Lihat tanda-tanda dari fraktur tulang tengkorak basilar. Ini termasuk ekimosis bilateral (mata racoon) dan ekimosis retroaurikuler. Area di sekitar laserasi harus dicukur dan di inspeksi. Pasien dengan cedera kepala yang berat harus dinilai cedera kepala tulang servikal (C-spine); immobilisasi pasien sampai penelitian klinis dan penelitian radiografik dapat dibuktikan sebaliknya (5) .

DIAGNOSA PENUNJANG (7)
Pemeriksaan Laboratorium
 Prevalensi abnormalitas koagulasi telah lama dikenali pada pasien cedera kepala. Abnormalitas ini dipercaya akibat pelepasan dari bahan-bahan tromboplastik oleh kerusakan jaringan otak.
 Pada suatu ulasan 253 pasien dengan cedera kepala yang memerlukan pemeriksaan CT-Scan, resiko perkembangan otak yang lambat seperti yang terlihat pada CT-Scan meningakt dari 31% pada pasien dengan koagulasi. Reperensi rata-rata hampir 85% pada pasien dengan penemuan abnormal terhadap protrombine time (PT), activated Partial Thromboplastin Time (aPTT), atau hitung platelet.
 Fresh frozen plasma atau platelet sebaiknya diberikan jika perlu, menunggu hasil dari penelitian ini sebaiknya tidak menunda pembedahan darurat.
 Produk-produk darah dapat diberikan secara intraoperatif untuk memperbaiki parameter pembekuan. Abnormalitas elektrolit dapat mengeksaserbasi cedera kepala dan sebaiknya dikoreksi dengan suatu alat penghitung waktu.

Pemeriksaan Imaging
 Modalitas imaging yang dipilih untuk memfasilitasi keputusan ini adalah CT Scan kepala. Namun jika menjadi osiden terhadap otak, hematom ini mungkin tidak dapat dideteksi hematom subdural akut.
 Hematom subdural akut tampak sebagai suatu hiperdense, konkaf terhadap otak, dan garis suturanya tidak jelas, berbeda dengan hematom epidural dimana konveks tehadap otak dan garis suturanya berbatas jelas.
 MRI merupakan suatu alternatif yang ada yang mampu menggambarkan CSDH dengan jelas.
 Serial C-Spine X-Ray penting dalam mengevaluasi kemungkinan adanya fraktur C-Spine yang menyertai.

DIAGNOSA BANDING (7)
Epidural hematom
Subaraknoid hemorrhage

KOMPLIKASI (4,7)
Komplikasi yang paling sering adalah reakumulasi hematom, perdarahan intraserebral yang disebabkan oleh pergeseran atau irigasi drainase tube yang salah, pneumoencepalus tension, seizure dan empyema subdural .
 Karakteristik dari sindrome herniasi bisa terjadi selama terjadi pergeseran otak. Seperti halnya lobus temporal medial, atau uncus, herniasi melewati tentorium. Ini dapat menekan arteri cerebral poaterior ipsilateral, nervus okulomotorius, dan pedunkulus serebri. Secara klinis rangkaian kelumpuhan nervus okulomotorius dan kompresi pedunkulus serebri sering bermanifestasi sebagai dilatasi pupil ipsilateral dan hemiparesis kontralateral.
 Pasien bisa juga menderita stroke dari distribusi arteri cerebral posterior. Hampir 5% kasus, hemiparesis bisa ipsilateral dengan dilatasi pupil. Fenomena ini disebut sebagai fenomena Kernohan Notch Syndrome dan terjadi jika herniasi unkus menekan otak tengah bergeser sehingga pedunkulus serebri kontralateral ditekan melawan incisura tentorial kontralateral.

PENATALAKSANAAN (4,5,7)
Seperti halnya pasien pada setiap trauma, resusitasi dimulai dengan ABC (Airway, Breathing, Circulation ).
 Semua pasien dengan score GCS < 8 harus diintubasi untuk membebaskan jalan nafas.
 Lakukan pemeriksaan neurologis yang jelas. Respirasi yang adekuat harus dilaksanakan pada awalnya dan dipertahankan untuk menghindari terjadinya hipoksia. Hiperventilasi dapat dilaksanakan jika terjadi sindrom herniasi.
 Tekanan darah harus dipertahankan pada keadaan normal atau pada level yang tinggi dengan menggunakan salin isotonic dan/alat pressor.
 Sedatif short acting dan obat-obat paralitik harus digunakan hanya jika perlu untuk memudahkan ventilasi yang adekuat.
 Jika diduga terjadi peningkatan tekanan intrakranial atau memperlihatkan gejala sindrom herniasi, maka berikan manitol 1 g/kg dengan cepat secara IV.
 Berikan obat-obat antikonvulsan untuk mencegah iskemik yang diinduksi serangan dan rangkaian kejang dalam tekanan intrakranial.
 Jangan berikan steroid, seperti yang telah mereka temukaN dimana tidak efektif pada pasien dengan cedera kepala.
Hematom subdural kronik simptomatik ditangani secara pembedahan. Craniotomy merupakan pilihan yang valid. Namun drinase burr hole dan twist drill craniotomy kurang invasive dan mempunyai tampakan yang sama-sama efektif.

PROGNOSA
Tidak ada prognostic yang jelas yang dihubungkan dengan hematom subdural kronik. Sementara beberapa pengarang telah menemukan suatu hubungan dengan tingkat preoperative dari fungsi neurologis dan hasil akhir, yang lain tidak. Diantara 86% dan 90% pasien dengan CSDH diobati dengan adekuat setelah prosedur pembedahan (4) .
Rata-rata mortalitas dikeseluruhan seri adalah 50%. Rata-rata mortalitas untuk semua dari 37 pasien dengan score GCS 3 adalah 100% danrata-rata mortalitas dihubungkan dengan nonreaktif pupil sebelah yaitu 48%, dengan nonreaktif pupil bilateral 88%, yang sangat menarik, rata-rata yang bertahan hidup pada pasien dengan nonreaktif pupil bilateral adalah 12% meskipun hasil akhirnya tidak dicatat (7) .

KESIMPULAN
Anggapannya adalah cedera kepala primer dihubungkan dengan hematom subdural mempunyai peran utama dalam kematian pasien. Namun kebanyakan hematom subdural diperkirakan berasal dari kebocoran batang vena. Tidak semua hematom subdural dihubungkan dengan cedera parenkim diffuse. Penilaian dan pengawasan yang tidak adekuat pada pasien pada saat masuk RS bisa menyebabkan kehilangan kesempatan untuk perawataan pasien yang masih mempunyai resiko perubahan neurologis yang lambat. Ini dapat mengakibatkan kemaatian dan morbiditas yang tidak menguntungkan jika terjadi serangkaian herniasi.








TINJAUAN KEPUSTAKAAN

1. Noback, C.R dan Robert, J.D, Anatomi Susunan Saraf Manusia ; EGC; Jakarta ; 1990; hal.31
2. Ngoerah, I Gst.Ng.Gd, Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf; Airlangga University Press; Surabaya; 1991; hal.312
3. Groat, J.D, Neuroanatomi korelatif; Cetakan I; Edisi ke-21; EGC; Jakarta; 1997; hal.145
4. Charles,P,M.D, e-Medicine Journal:Subdural Hematom Akut/subakut; Department of Neurological Surgery, Beth Israel Medical Center, New York; 2001
5. Elaine,T.Kiriakopoulos,M.D, journal of Medicine:Chronic Subdural Hematom ; Department of Neurological; Beth Israel Deaconess Medical Center, Harvard University, Boston; 2002.
6. Mardjono, M dan Priguna ,S; Neurologi Klinis Dasar; Cetakan ke-8; Penerbit Dian Rakayat; 2000.
7. Meagher, R.J dan William, F.Y; e-Medicine : Subdural Hematome; Temple University; 2002.



DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar isi ii
Pendahuluan 1
Definisi 2
Epidemiologi 3
Etiologi 4
Klasifikasi dan Faktor Resiko 5
Patofisiologi 6
Gejala Klinis 7
Diagnosa 9
Diagnosa Penunjang 10
Komplikasi 11
Penatalaksanaan 12
Prognosa 13
Kesimpulan 14
Daftar Kepustakaan 15





KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tinjauan kepustakaan ini.
Penulisan tinjauan kepustakaan dimaksudkan sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepanitraan Klinik Senior di Lab/SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUZA Banda Aceh dan juga sebagai latihan untuk merangkum beberapa sumber ilmu menjadi suatu tulisan yang bermanfaat.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Syahrul, Sp. S selaku pembimbing dan dokter-dokter lain yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis selama menjalani KKS di bagian ini. Tidak lupa pula ucapan terima kasih kepada para dokter muda serta staf paramedis di bagian ini yang telah memberikan kerjasama dan bantuan yang baik.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan tinjauan kepustakaan ini masih banyak kekurangan dan masih sangat jauh dari kesempurnaan. Karenanya saran dan kritikan yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan di masa mendatang. Semoga tinjauan kepustakaan ini berguna bagi penulis sendiri dan bagi pembaca sekalian.

Banda Aceh, Oktober 2003
Penulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar