Minggu, 15 Agustus 2010

INKONTINENTIA URINE

BAB I
PENDAHULUAN


Inkontinensia urin merupakan suatu kondisi yang lazim dijumpai namun merugikan, yang secara signifikan dapat mempengaruhi kesehatan, fungsi dan kualitas hidup. 1 Prevalensi pada perempuan sehat (tidak termasuk usia lanjut) dalam komunitas berkisar antara 11,3 hingga 62,7%. Seperti dikutip oleh Locher dan Burgio 2, Yarnell dkk melaporkan 42% perempuan berusia antara 17-64 tahun menderita inkontinensia, sedangkan Burgio dkk mendapatkan bahwa 58% perempuan sehat berusia antara 42-50 tahun kadang-kadang mengompol dan 31% mengalami inkontinensia paling sedikit sekali dalam sebulan. Stres inkontinensia dilaporkan sebagai jenis paling umum dari inkontinensia, dengan angka prevalensi antara 14,7-52%. Menurut Nygaard dan Heit 3, definisi terkini dari International Continence Society untuk stres inkontinensia adalah keluhan keluarnya urin secara involunter saat pengerahan tenaga atau saat bersin/batuk.
Terdapat beberapa terapi nonfarmakologis, farmakologis dan bedah yang efektif dalam mengatasi gejala ini. Namun demikian, umumnya disepakati bahwa terapi pilihan pertama adalah yang paling kurang invasif dengan risiko efek samping terkecil. 4 Latihan otot dasar panggul untuk mengembalikan tonus dan kekuatannya adalah terapi kuno, tetapi telah diterima dengan baik untuk stres inkontinensia. 5 Menurut Bo 6, pada tahun 1948 Arnold Kegel, seorang ahli ginekologi Amerika, pertama kali memperkenalkan latihan otot dasar panggul dan melaporkan bahwa 84% pasien dapat disembuhkan dengan latihan tersebut.
Latihan otot dasar panggul mempengaruhi kontinensia urin dengan cara memperkuat levator ani, asalkan fasia endopelvik dan persarafan normal. Jika dilaksanakan sebagaimana mestinya, latihan ini menghasilkan kemampuan untuk mengkontraksikan levator ani dan sfingter urethra dengan cara yang terkoordinasi dan tepat waktu, sedemikian rupa sehingga menekan urethra terhadap dinding vagina. 5
Dalam makalah ini akan disajikan sari pustaka tentang latihan otot dasar panggul sebagai terapi stres inkontinensia urin untuk perempuan. Agar lebih jelas, akan dibahas terlebih dahulu struktur dasar panggul dan mekanisme kontinensia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Struktur Dasar Panggul yang Penting untuk Kontinensia
Karena urethra, kandung kemih dan struktur penyokong panggul adalah bagian dari dasar panggul, fungsinya tidak dapat dimengerti tanpa adanya pemahaman yang cukup tentang anatomi dasar panggul. Dasar panggul adalah kumpulan jaringan yang terbentang pada pintu tulang panggul, yang terletak pada dasar rongga abdominopelvis dan membentuk lapisan penyokong bagi organ abdomen dan panggul. Dasar panggul memiliki tiga lapisan penyokong, yaitu: fasia endopelvis, otot levator ani dan membran perineum/sfingter ani eksterna. 7
Lapisan penyokong kedua merupakan lembaran diafragma muskuler, yang dibentuk oleh otot levator ani dengan kedua fasia superior dan inferiornya. 7 Otot levator ani dan koksigeus yang melekat pada permukaan dalam pelvis minor, dengan otot yang bersesuaian dari sisi sebelahnya, bergabung membentuk diafragma pelvis (Gambar 1). Levator ani tersusun dari dua otot utama, yaitu (dari medial ke lateral) muskulus pubokoksigeus dan muskulus iliokoksigeus. 8



Gambar 1. Diafragma pelvis (Dikutip dari Herschorn S. Female pelvic floor anatomy: the pelvic floor, supporting structures, and pelvic organs. Rev Urol 2004;6 Suppl 5:S2-10)
Muskulus pubokoksigeus adalah bagian medial levator ani yang lebih besar, yang berasal dari belakang pubis dan bagian anterior arkus tendineus. Arkus tendineus dari levator ani merupakan struktur jaringan penghubung padat yang berjalan dari ramus pubis ke spina ischiadika dan berjalan sepanjang permukaan muskulus obturatorius internus. Muskulus pubokoksigeus berjalan balik hampir secara horisontal di belakang rektum. Batas dalamnya membentuk tepi hiatus levator (urogenital), tempat lewatnya urethra, vagina dan anorektum. 8 Dengan kata lain, otot ini merupakan pita otot berbentuk U, yang tersusun dari tiga bagian: muskulus pubovaginalis, muskulus puborektalis dan muskulus puboanalis. Muskulus pubokoksigeus menarik rektum, vagina dan urethra menuju anterior ke tulang pubis dan menekan ketiga lumen tersebut. Porsi pubovaginalis adalah bagian paling anterior levator ani, merupakan komponen muskuler utama penyokong urethra. 9
Muskulus iliokoksigeus adalah bagian lateral levator ani yang lebih tipis, yang muncul dari arkus tendineus levator ani menuju spina ischiadika. Di bagian posterior ia melekat pada dua segmen terakhir koksigis. Serabut-serabut dari kedua sisi juga bersatu membentuk raphe dan ligamentum anokoksigeal. Raphe mediana antara anus dan koksigis disebut piring levator (levator plate) dan merupakan wadah di mana organ-organ panggul terletak. Ia dibentuk oleh pertemuan muskulus iliokoksigeus dan serabut posterior muskulus pubokoksigeus. 8
Mengenai tipe otot lurik, telah dilaporkan bahwa sebagian besar serabut otot levator ani adalah serabut slow-twitch (tipe I) yang memelihara tonus yang konstan, dan suatu serabut fast-twitch (tipe II) yang densitasnya meningkat dan tersebar di area periurethral dan perianal. Inervasi langsung muskulus levator ani pada permukaan kranialnya terutama berasal dari cabang nervus sakralis ke-3 dan ke-4 lewat nervus pudendus. 8 Pada penelitian terbaru dengan menggunakan kadaver, Barber dkk menemukan bahwa pada perempuan, otot levator ani tidak diinervasi oleh nervus pudendus, tetapi oleh cabang nervus sakralis ke-3 dan ke-5. 10

2.2 Mekanisme Kontinensia
Kontinensia urin terjadi baik pada saat istirahat maupun saat adanya beban, yaitu ketika tekanan intraurethra sama atau melebihi tekanan intravesika. Komponen-komponen yang mempertahankan kontinensia tersebut terdiri dari: mekanisme sfingterik urethra interna, sfingter urethra eksterna, penyokong anatomis yang cukup pada urethra proksimal dan leher kandung kemih, dan inervasi yang normal pada komponen tersebut. 7
Penyokong urethra proksimal dan leher kandung kemih yang paling penting adalah suatu gendongan (sling), yang dibentuk di bawah urethra proksimal dan medial oleh suatu segmen dinding vagina anterior yang bergabung dengan fasia puboservikal. Segmen ini ke lateral melekat pada otot-otot diafragma pelvis, fasia endopelvis yang melapisinya, dan arkus tendineus fasia pelvis. Ketika diafragma pelvis berkontraksi, dinding vagina bergerak ke anterior, menarik urethra proksimal ke tulang pubis. Bagian medial diafragma pelvis dan perlekatan fasia dari vagina ke arkus tendineus mencegah perubahan letak urethra proksimal, mempertahankannya tetap di atas piring levator. Secara ringkas, penyokong urethra proksimal dan leher kandung kemih akan menempatkan kedua struktur tersebut di atas otot dasar panggul dan mempertahankan letaknya saat terjadi peningkatan tekanan intrabdomen, sehingga memungkinkan kompresi urethra dan kontinensia (Gambar 2). 7



Gambar 2. Pandangan lateral urethra dan vagina, potongan lintang tepat di bawah leher kandung kemih, menunjukkan bagaimana tekanan abdomen (panah besar) dapat mengkompresi urethra ke arah bawah terhadap fasia yang mendasarinya sementara tekanan intraurethra diperbesar oleh otot lurik (Dikutip dari Miller JM. Criteria for therapeutic use of pelvic floor muscle training in women. J WOCN 2002;29:301-11)
Kontinensia saat istirahat tergantung pada penutupan leher kandung kemih, aktivitas tonus muskulus sfingter urethra dan mukosa urethra. Tonus yang konstan pada leher kandung kemih dipengaruhi oleh saraf adrenergik-α. Sfingter urethra terutama tersusun dari serabut slow-twich, yang memelihara aktivitas tonus yang konstan dalam lumen urethra dan meningkatkan kemampuan berkontraksi ketika kekuatan penutupan tambahan diperlukan. 9
Otot lurik sfingter urethra tidak mampu mempertahankan kontinensia sendirian ketika terjadi peningkatan tekanan intraabdomen yang mendadak. Oleh karena itu, transmisi tekanan abdomen ke urethra proksimal hampir pasti merupakan faktor utama dalam mempertahankan kontinensia saat adanya beban. Transmisi tekanan antara rongga abdomen dan urethra tergantung pada tiga faktor, yaitu: penyokong urethra proksimal dan leher kandung kemih, sinergi otot-otot dan kelenturan dinding urethra. 9
”Hipotesis hammock (buaian)” merupakan cara yang mudah dipahami untuk menjelaskan mekanisme kontinensia (Gambar 3). Perlekatan fasia menghubungkan


Gambar 3. Potongan lintang dari sokongan urethra di bawah leher kandung kemih: Urethra disokong oleh buaian dinding vagina anterior yang digantung pada levator (muskulus pubokoksigeus) dan perlekatan fasia (FA) pada arkus tendineus fasia pelvis; pada intinya, merupakan ”buaian ganda” (Dikutip dari Herschorn S. Female pelvic floor anatomy: the pelvic floor, supporting structures, and pelvic organs. Rev Urol 2004;6 Suppl 5:S2-10).
jaringan periurethra dan dinding vagina anterior dengan arkus tendineus pada dinding samping panggul, sedangkan buaian muskuler menggantungkan jaringan periurethral ke arah medial levator ani. Penyokong urethra terjadi oleh aksi terkoordinasi dari fasia dan otot yang bekerja sebagai suatu unit terintegrasi di bawah kontrol saraf. Penyokong muskulofasia ini membentuk buaian yang menyebabkan urethra dikompresi saat terjadi peningkatan tekanan intraabdomen. 8
Hubungan antara penyokong urethra dan fungsi sfingterik adalah rumit. Banyak ahli menyelidiki peningkatan mendadak tekanan intraurethra yang berasal dari transmisi tekanan intraabdomen pada urethra proksimal (Gambar 4). 11 Penelitian tentang transmisi tekanan intraabdomen pada leher kandung kemih memberikan suatu pendekatan alternatif, yang mengemukakan bahwa leher kandung kemih itu sendiri harus menjadi subyek perubahan tekanan intraabdomen untuk menciptakan suatu perbedaan tekanan yang dapat mempertahankan kontinensia. 12



Gambar 4. Teori transmisi tekanan dalam rongga abdomen (Dikutip dari Toozs-Hobson PM, Cardozo LD. Understanding female urinary incontinence. Oxon: Family Doctor Publications; 1999)
Faktor-faktor di atas yang berperan dalam penutupan urethra secara efektif dapat dikelompokkan menjadi faktor ekstrinsik dan intrinsik (Tabel 1). Faktor ekstrinsik mempengaruhi fungsi urethra secara tidak langsung dengan mempengaruhi sokongan urethra, sedangkan faktor intrinsik mempengaruhi penutupan urethra secara langsung. 13


Tabel 1. Faktor Ekstrinsik dan Intrinsik Penutupan Urethra

Faktor ekstrinsik
Fasia endopelvik dan integritas perlekatan lateralnya ke dinding samping panggul
Otot levator ani
Kekuatan kompleks otot levator
Hubungan kompleks otot levator ke fasia endopelvik
Koordinasi kontraksi otot levator dengan batuk
Faktor intrinsik
Inervasi otonom (simpatis) dan tonus (reseptor adrenergik-α)
Otot lurik dinding urethra
Koaptasi mukosa dari urotelium
Kongesti vaskuler dari pleksus venosa submukosa
Otot polos dinding urethra dan vasa darah
Elastisitas dinding urethra

(Dikutip dari Wall LL. Urinary stress incontinence. In: Rock JA, Thompson JD, editors. Te Linde’s Operative Gynecology. 8th ed. Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers; 1997.p.1087-34)

2.3 Stres Inkontinensia Urin

Definisi
Menurut Wall 13, secara umum inkontinensia urin didefinisikan oleh International Continence Society (ICS) sebagai kondisi di mana keluarnya urin secara involunter, yang dapat diamati secara obyektif, merupakan masalah sosial dan higienis. Yang merupakan masalah sosial dan higienis antara lain iritasi, infeksi saluran kemih, terjatuh, patah tulang, rasa malu, frustasi dan biaya pengobatan. 14
ICS, seperti dikutip oleh Summit dan Bent 7, mendefinisikan stres inkontinensia urin (SIU) sebagai gejala, tanda dan kondisi. Sebagai gejala, adalah keluhan pasien mengenai keluarnya urin secara involunter saat kerja fisik. Sebagai tanda, adalah pengamatan keluarnya urin dari urethra segera setelah peningkatan tekanan intraabdomen (misalnya batuk). Sebagai kondisi, adalah keluarnya urin involunter yang terjadi ketika tekanan intravesika melebihi tekanan urethra maksimal tanpa adanya aktivitas detrusor.
Ketika SIU menjalani uji urodinamik dengan mengidentifikasi keluarnya urin dari urethra bersamaan dengan peningkatan tekanan abdomen tanpa adanya kontraksi kandung kemih, ditegakkan diagnosis stres inkontinensia urodinamik, yang dahulu disebut stres inkontinensia asli. 3

Prevalensi
Prevalensi SIU merupakan suatu spektrum, tergantung pada bagaimana ia didefinisikan. Pada survei kuesioner, mayoritas perempuan dewasa melaporkan bahwa mereka mengeluarkan beberapa tetes urin saat kerja fisik dari waktu ke waktu. Setengah perempuan muda nullipara melaporkan kadang-kadang mengompol saat batuk, bersin atau olah raga. Meskipun hanya sedikit perempuan muda melaporkannya, 10% perempuan setengah baya mengaku mengompol tiap hari (inkontinensia berat), dan sepertiga mengompol paling sedikit seminggu sekali. Pada penelitian epidemiologis, angka inkontinensia memuncak pada usia tua antara 45-49 tahun kira-kira 65%, kemudian menurun secara perlahan. 3 SIU juga dilaporkan terjadi pada 32-85% ibu hamil, biasanya derajat ringan dan lebih sering mempengaruhi multipara daripada nullipara. 15
Pada survei komunitas terhadap 1.060 perempuan berumur di atas 18 tahun yang dipilih secara acak di South Wales, seperti dikutip dari Menefee dan Wall 16, diungkapkan bahwa 22% mengalami keluhan SIU. Pada survei terhadap 144 atlit perempuan universitas, 27% mengeluhkan hal yang sama ketika sedang berolah raga. Bahkan pada perempuan yang bugar pun, mekanisme kontinensia tampaknya rentan terhadap SIU.

Faktor Risiko
Kehamilan dan/atau persalinan memberi kecenderungan pada perempuan mengalami SIU, paling sedikit pada tahun-tahun usia muda. Di antara perempuan yang belum pernah melahirkan, mereka yang hamil lebih sering mengompol daripada yang tidak hamil; kira-kira setengah perempuan melaporkan gejala SIU selama kehamilan, namun sebagian besar gejala akan menghilang setelah persalinan. Perubahan yang terjadi setelah persalinan yang menyebabkan SIU antara lain: berkurangnya kekuatan otot levator ani, penurunan leher kandung kemih, dan denervasi parsial otot dasar panggul dengan neuropati pudendus. 3
Pada sebagian besar penelitian, paritas sangat berhubungan dengan kejadian SIU pada perempuan muda. Namun, pada penelitian terhadap perempuan berusia 60 tahun atau lebih, paritas umumnya tidak lagi merupakan faktor risiko independen terjadinya SIU. 3
SIU umumnya dipengaruhi oleh tekanan intraabdomen di sekitarnya. Sebagai contoh, dua orang perempuan kembar identik dapat memiliki mekanisme kontinensia anatomis dan tekanan penutupan urethra yang identik, tetapi salah seorang yang menjalani kerja fisik berat dapat mengalami inkontinensia, sedangkan saudaranya mungkin tidak. Serupa halnya, perempuan dengan batuk kronis dan penyakit paru obstruktif lebih mungkin menderita inkontinensia. Banyak ahli juga menghubungkan obesitas (peningkatan berat badan dan indeks massa tubuh) dengan kejadian SIU. 3

Klasifikasi
Suatu konsensus telah dibuat di antara para ahli bedah, yang memisahkan SIU menjadi dua tipe utama: 1) yang disebabkan hipermobilitas anatomis dari urethra, yang menyebabkan kegagalan penutupan urethra terhadap stres; dan 2) yang disebabkan kelemahan atau defisiensi sfingter intrinsik. Tipe yang pertama lebih prevalen, mungkin berkisar antara 80-90% SIU. Tipe yang kedua kurang umum, tetapi terapinya lebih menantang. 13
Meskipun konsep ini bermanfaat, pada sebagian besar kasus, penderita tidak dengan mudah dikelompokkan ke dalam salah satu tipe tertentu. Dengan kata lain, penderita dipengaruhi beberapa derajat oleh kedua tipe tersebut, yang berinteraksi menghasilkan kondisi klinis SIU. Tantangannya adalah menentukan faktor mana yang paling menonjol, karena keputusan tersebut akan berpengaruh langsung pada macam terapi yang dipilih. 16

Diagnosis
Diagnosis SIU berdasarkan pada pengamatan keluarnya urin secara obyektif saat pengerahan tenaga dan mencari penyebab lain dari inkontinensia. 7 Diagnosis banding dapat dilihat pada Tabel 2, sesuai dengan klasifikasi inkontinesia urin pada perempuan, dengan dua kategori utama: ekstraurethral (keluarnya urin melalui pintu abnormal antara traktus urinarius dan dunia luar, misalnya melalui suatu kelainan kongenital atau suatu fistula) dan transurethral. 17


Tabel 2. Diagnosis Banding Stres Inkontinensia Urin

Inkontinensia ekstraurethral
Kongenital
Ureter ektopik
Ekstrofi kandung kemih
Didapat (fistula)
Ureteral
Vesikal
Urethral
Kombinasi kompleks
Inkontinensia transurethral
Sfingter urethra inkompeten (stres inkontinensia asli)
Inkontinensia ec hipermobilitas urethra anatomis dan hilangnya sokongan
Inkontinensia ec defisiensi sfingter intrinsik
Kombinasi
Overaktifitas detrusor
Instabilitas detrusor idiopatik
Overaktifitas detrusor neuropatik
Hiperrefleksia detrusor
Inkontinensia refleks
Inkontinensia campuran (sfingter urethra inkompeten dan overaktifitas detrusor)
Retensi urin dengan distensi kandung kemih dan overflow inkontinensia
Stres inkontinensia asli
Hiperaktifitas detrusor dengan gangguan kontraktilitas
Kombinasi
Divertikulum urethra
Abnormalitas urethra kongenital (misalnya epispadia)
Instabilitas urethra
Inkontinensia ringan dan fungsional

(Dikutip dari Wall LL. Urinary stress incontinence. In: Rock JA, Thompson JD, editors. Te Linde’s Operative Gynecology. 8th ed. Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers; 1997.p.1087-34)

Evaluasi yang cermat yang terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan neurologis, serta tes klinis tertentu akan mengarahkan pada diagnosis yang tepat dan menghindari tatalaksana yang tidak lengkap. Perhatian khusus pada status menopause, riwayat pembedahan dan medikasi yang sedang dijalankan. Urinalisis diperoleh untuk mencari kemungkinan bakteriuria, pyuria atau hematuria. Tes yang obyektif untuk menunjukkan keluarnya urin saat kerja fisik adalah cough stress test dan pad test. 7
Cough stress test dilakukan dengan mengisi kandung kemih pasien hingga 300 cc atau hingga ia merasakan kandung kemihnya penuh secara subyektif, kemudian dalam posisi berdiri ia diminta beberapa kali batuk yang kuat. Meatus urethra eksterna diamati selama batuk untuk melihat keluarnya urin, dan jika urin tampak keluar berarti tes positif. 18 Pad test dilakukan dengan menggunakan pembalut yang ditimbang beratnya sebelum dan setelah menjalankan aktivitas fisik selama waktu tertentu, di mana bertambahnya berat pembalut mencerminkan keluarnya urin. Para ahli menyimpulkan bahwa penambahan berat pembalut lebih dari 1 gram per jam adalah abnormal dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut. 19
Berdasarkan klasifikasi SEAPI-QMN, seperti dikutip oleh Nitti dan Combs 20, terdapat tiga derajat subyektif SIU, yaitu: 1) ringan, yaitu keluarnya urin dengan aktivitas yang berat, 2) sedang, yaitu keluarnya urin dengan aktivitas sedang dan 3) berat, yaitu keluarnya urin dengan aktivitas minimal atau inkontinensia gravitasional. Derajat keluarnya urin dapat ditunjukkan dengan berat pad test 1 jam, yaitu kering (< 2 g), ringan-sedang (2-10 g), berat (10-50 g) dan sangat berat (> 50 g). 19

Terapi
Terapi SIU dikelompokkan menjadi terapi konservatif dan operatif (Tabel 3). Pendekatan
konservatif ditujukan pada SIU derajat ringan dan sedang, sedangkan operatif dapat dilakukan pada semua tingkatan. 7 Terapi awal sebaiknya dimulai dengan perubahan perilaku dan latihan otot dasar panggul. 3 Latihan otot dasar panggul adalah latihan dalam bentuk seri untuk membangun kembali kekuatan otot tersebut. 21 Dikutip dari Nygaard dan Heit 3, Cochrane Incontinence Group dalam tinjauan literatur sitematik menyim-pulkan bahwa latihan otot tersebut secara konsisten lebih baik daripada tanpa terapi atau terapi plasebo. Estrogen belakangan ini tidak diindikasikan karena justru menyebabkan inkontinensia atau memperparahnya. Prosedur operatif lebih mungkin memberi kesembuhan daripada konservatif, tetapi berhubungan dengan lebih banyak efek samping. Pada umumnya pilihan terapi konservatif yang bersifat nonfarmakologis lebih dipertimbangkan daripada terapi konservatif farmakologis dan operatif. 4


Tabel 3. Terapi Stres Inkontinensia Urin

Terapi konservatif (nonbedah)
Latihan otot dasar panggul (latihan Kegel)
Bladder training
Pessarium vagina
Vaginal cones
Urethral inserts
Terapi farmakologis
Estrogen (sekarang tidak direkomendasikan 3)
Obat adrenergik-α
Biofeedback
Stimulasi elektrik fungsional
Terapi operatif (bedah)
Urethropeksi retropubis
Prosedur Burch
Prosedur Marshal-Marchetti-Krantz
Kolporrafi anterior
Prosedur needle
Prosedur Pereyra modifikasi
Prosedur Stamey
Prosedur pubovaginal sling
Periurethral bulking agent

(Dikutip dan dimodifikasi dari Summitt RL, Bent AE. Genuine stress incontinence: an overview. In: Ostergard DR, Bent AE, editors. Urogynecology and urodynamics: theory and practice. 4th ed. Baltimore: Williams & Wilkins;1996.p.493-504)

2.4 Latihan Otot Dasar Panggul

Sejarah
Arnold Kegel, seperti dikutip oleh Wall 13, adalah orang pertama yang menyelidiki penguatan otot dasar panggul dengan cara yang sistematis sebagai terapi yang efektif terhadap inkontinensia urin pada perempuan. 22 Metode Kegel terdiri dari menyadarkan pasien akan muskulus pubokoksigeusnya, kemudian mengintruksikan latihan untuk memperkuat otot tersebut dengan alat biofeedback sederhana berisi udara yang disebut perineometer. 13 Namun menurut Bo 22, Chang telah menulis bahwa latihan otot dasar panggul (LODP) telah menjadi bagian penting dari program latihan Taoisme di Cina sejak lebih dari 6000 tahun lalu, dan ”tegangan” dasar panggul juga telah digunakan untuk mengobati dan mencegah inkontinensia urin dan fekal sejak tahun 20-an oleh para ahli fisioterapi di Inggris.
Bo 22 juga menulis bahwa Kegel melaporkan 84% pasiennya sembuh setelah melakukan LODP. Karena penelitiannya tidak dikontrol dan tidak ada pengukuran luaran, beberapa uji acak terkontrol dan tinjauan sistematik telah dilakukan dan memberi konfirmasi bahwa latihan tersebut memang efektif untuk SIU dan campuran. Latihan ini sekarang direkomendasikan sebagai terapi garis pertama. Angka penyembuhan dan perbaikan bervariasi antara 56% hingga 70%. Dalam literatur, lebih diyakini bahwa LODP akan memperbaiki kondisi, bukan menghilangkan. Namun demikian, telah tercatat dalam beberapa penelitian tersebut bahwa 44-69% perempuan penderita SIU sembuh, yang didefinisikan sebagai < 2 g kebocoran pada pad test selama 1 jam.

Sasaran Latihan
Otot dasar panggul (levator ani) mempunyai tiga fungsi utama, yaitu: kontrol sfingter, menyokong organ abdominopelvis dan seksual. 23 Berbeda dengan kebanyakan otot rangka, otot ini bersifat memiliki tonus yang konstan (kecuali saat berkemih, defekasi dan tes valsava), mampu berkontraksi dengan cepat (misalnya saat batuk atau bersin, dengan demikian dapat mempertahankan kontinensia) dan dapat berdistensi selama proses persalinan untuk lewatnya bayi, dan kemudian akan berkontraksi lagi untuk kembali ke fungsi normal. 10
Otot tersebut tersusun atas piring otot tiga lapis yang membentang dari simfisis pubis sepanjang dinding samping ilium menuju koksigis. Masing-masing otot memiliki arah serabut yang berbeda, dan jika tiap otot dapat berkontraksi sendiri, semua akan memiliki fungsi yang berbeda. Bagaimanapun, fungsi volunter otot dasar panggul yang diketahui hanyalah kontraksi massa, berupa mengangkat ke arah dalam dan memeras sekitar urethra, vagina dan rektum. Karena lokasinya di dalam panggul, otot-otot ini adalah kelompok otot satu-satunya dalam tubuh yang berfungsi sebagai penyokong struktural organ panggul (urethra, vagina dan rektum). 22
Kontraksi otot dasar panggul yang disadari menghasilkan gerakan memeras dan mengangkat ke dalam, yang mengakibatkan penutupan urethra, stabilisasi dan resistensi terhadap gerakan ke bawah (Gambar 5). Pada sukarelawan sehat, kontraksi kelompok otot besar lain, misalnya otot gluteus, adduktor paha dan abdomen menghasilkan kontraksi simultan otot dasar panggul. Tidak seperti otot dasar panggul, kelompok otot lain ini tidak dalam posisi anatomis yang berperan sebagai penyokong struktural untuk mencegah penurunan urethra proksimal dan leher kandung kemih. Lebih jauh, mengkontraksikan kelompok otot selain otot dasar panggul tidak dapat meningkatkan penutupan urethra dengan perasan langsung di sekitar lumen. 22



Gambar 5. Latihan otot dasar panggul memperkuat dan menambah volume otot sehingga menambah sokongan pada urethra dan kandung kemih (Dikutip dari Toozs-Hobson PM, Cardozo LD. Understanding female urinary incontinence. Oxon: Family Doctor Publications; 1999)

LODP meningkatkan resistensi urethra melalui kontraksi aktif muskulus pubokoksigeus. Kontraksi otot ini menambah kekuatan penutupan pada urethra, meningkatkan sokongan muskuler pada struktur panggul dan memperkuat muskulatur dasar panggul dan periurethra yang volunter. 24
Kekuatan otot dasar panggul dapat diukur antara lain dengan pemeriksaan digital, perineometer dan ultrasonografi. Pengukuran secara digital menggunakan skala Oxford, yang membagi kekuatan kontraksi otot dasar panggul dalam skala 0-5, di mana hasil pengukuran < 3 dianggap abnormal. Perineometer menggunakan skala 0-12 cmH2O, dengan nilai abnormal jika < 8 cmH2O. 25, 26

Kandidat Peserta
Perempuan yang disarankan untuk mengikuti program LODP yaitu: 27
• Perempuan sehat
Kelompok yang ideal tetapi sering dilupakan untuk LODP adalah mereka yang diberikan latihan dengan tujuan pencegahan inkontinensia dan strategi untuk mekanika tubuh yang baik. Karena angka prevalensi dan insidensi inkontinensia dan prolaps yang tinggi, memberi edukasi kepada perempuan bahwa otot dasar panggul memiliki peranan dalam sokongan organ panggul dan sokongan postural adalah penting. LODP sebaiknya menjadi bagian fundamental promosi kesejahteraan perempuan/edukasi pencegahan penyakit. 27
• Perempuan hamil
Karena melahirkan dan persalinan pervaginam diketahui sebagai faktor risiko tinggi terjadinya inkontinensia, maka masa prenatal digunakan untuk mempelajari LODP. 27 Sampselle dkk 28 mencatat peranan LODP dalam mempercepat pengembalian kekuatannya setelah persalinan dan mempercepat penyembuhan inkontinensia urin yang muncul setelah bersalin.
• Perempuan yang tidak mampu menunda berkemih
Perempuan yang tidak dapat menunda berkemih memiliki gejala urgensi, dengan atau tanpa episode mengompol. Pada penderita urgensi yang sebenarnya mengompol, LODP telah menunjukkan efektifitasnya. 27
• Perempuan yang kehilangan respon refleks levator ani
Pada kelompok ini, kompensasi dapat terjadi dengan mengganti suatu kontraksi yang diinginkan. Sayangnya pada sebagian penderita, otot-otot tetap tidak berespon baik terhadap kontrol refleks maupun usaha mengganti kontraksi yang diinginkan. Prognosis keberhasilan latihan pada kelompok ini adalah buruk. 27
• Perempuan yang mempunyai tekanan intraabdomen yang tinggi
Para atlit, perokok, penderita asma atau bronkitis kronis, atau perempuan yang memiliki tubuh dengan dinding perut dan dada yang tebal, semua berpotensi mengalami peningkatan tekanan intraabdomen yang mendadak, yang dapat menimbulkan inkontinensia. 27
• Perempuan dengan otot levator ani yang lemah
Tujuan latihan pada kelompok ini adalah membangun kekuatan dan volume otot, tanpa memandang status kontinensia. 27

Komponen Latihan
Teori di belakang LODP untuk terapi SIU adalah bahwa kontraksi refleks levator ani yang cepat dan kuat akan menjepit urethra, sehingga meningkatkan tekanan urethra saat terjadi peningkatan mendadak tekanan intraabdomen. Dilaporkan bahwa selama kontraksi otot dasar panggul, urethra akan ditekan ke simfisis pubis, menghasilkan suatu peningkatan tekanan mekanis. 6
LODP untuk tujuan mengurangi risiko SIU umumnya terdiri dari dua bagian yang berbeda namun berhubungan, yaitu latihan kekuatan dan kemampuan pengaturan. 27
• Latihan kekuatan melalui LODP
LODP (populer dengan nama latihan Kegel) adalah suatu program latihan bertarget, bertujuan membangun kekuatan dan volume otot levator ani. Asumsi yang mendasari adalah bahwa meningkatkan volume otot levator ani akan menambah pengaruh pasif penyokong urethra, akibat sokongan lantai yang kokoh di bawahnya. Perbaikan kekuatan levator ani sering digunakan sebagai kriteria keberhasilan program. 27
Latihan kekuatan dapat meningkatkan volume otot, membentuk penyokong struktural yang kuat untuk leher kandung kemih dan urethra proksimal, sehingga dapat dijadikan dalil bahwa kontraksi otot dasar panggul yang cepat dan kuat saat tekanan intraabdomen meningkat dapat mencegah penurunan urethra. 6
Terdapat dua prinsip utama latihan kekuatan yang efektif, yaitu spesifitas dan overload. 6
o Spesifitas
Hasil latihan kekuatan harus spesifik terhadap tipe kontraksi yang diinginkan. Hal ini berarti bahwa situasi latihan harus dapat merefleksikan fungsi otot, sehingga efek yang diharapkan muncul. Karena dihubungkan ke tulang yang tidak bergerak, otot dasar panggul hanya berfungsi memeras di sekitar pembukaan vagina, urethra dan anus serta mengangkat ke dalam dan ke arah kranial. Selama kontraksi yang benar, tidak tampak pergerakan yang dapat diobservasi dari luar. Terdapat bukti bahwa otot dasar panggul berkontraksi secara sinergis dengan otot abdomen, adduktor paha dan gluteus. Bagaimanapun, otot-otot yang bersinergi tersebut mungkin tidak cukup kuat untuk menjadi stimulus latihan untuk meningkatkan kekuatan otot. 6
Kesalahan umum dalam latihan kekuatan adalah mengkontraksikan otot lainnya, atau secara simultan berkontraksi dengan otot dasar panggul. Kontraksi simultan tersebut dapat menutupi kekuatan kontraksi otot dasar panggul. Beberapa pekerja kesehatan merekomendasikan olah raga umum untuk memperkuat otot dasar panggul, tetapi seperti halnya seseorang tidak menjadi perenang handal dengan melakukan olah raga lari, demikian juga otot dasar panggul tidak akan terlatih secara optimal dengan berjalan, lari atau aerobik. Sebaliknya, sebagian besar perempuan dengan inkontinensia stres menjadi inkontinensia dengan olah raga umum. 6
o Overload
Kelompok otot harus dirangsang agar berkontraksi lebih kuat daripada kontraksi umum yang terjadi selama kegiatan sehari-hari. Overload dibuat dengan meningkatkan resistensi pada pergerakan (frekuensi) dan durasi aktifitas. Cara efektif untuk menciptakan overload otot dasar panggul adalah melakukan kontraksi maksimal, memperpanjang periode menahan, meningkatkan jumlah repetisi dan mengurangi interval istirahat. 6
• Kemampuan pengaturan melalui Knack (ketangkasan)
Berbeda dengan LODP yang menekankan pada pengembangan kekuatan, suatu komponen lain dari LODP berfokus pada kemampuan mengatur suatu kontraksi otot dasar panggul dengan kejadian sekunder seperti batuk. 30 Diungkapkan oleh Bo 22, pada tahun 1996 Miller dkk memperkenalkan kontraksi volunter ini sebagai Knack. Pada latihan ini, penderita belajar melakukan kontraksi tunggal otot dasar panggul yang terkontrol dengan baik, hanya pada saat antisipasi mengompol untuk membuat tekanan urethra yang tinggi dan mencegah keluarnya urin. Ini adalah kontraksi mahir yang harus dilakukan secara simultan dengan kegiatan seperti mengangkat benda, batuk, bersin atau saat episode urgensi. Peningkatan stabilitas dan fungsi mekanisme kontinensia merupakan bukti keberhasilan proram. 27

Protokol Latihan
Meskipun pengaruh LODP untuk mengobati SIU adalah logis berdasarkan pemahaman terhadap anatomi fungsional, namun protokol latihan bervariasi dan tampaknya berlandaskan pada asumsi yang berbeda bagaimana latihan tersebut mempengaruhi kontinensia. 22 Tetapi walaupun terdapat bermacam-macam protokol, semuanya memiliki tiga komponen dasar, yaitu: 1) menyisihkan waktu untuk latihan, 2) meningkatkan jumlah atau intensitas latihan, dan 3) membuat perubahan struktural pada otot. 27
• Protokol Latihan Kekuatan
Terdapat beberapa protokol LODP yang ditujukan untuk dilakukan di rumah. Pada dasarnya protokol ini merupakan suatu rentang jumlah latihan, tetapi masing-masing menekankan pada peningkatan frekuensi dan durasi kontraksi. Keterbatasan protokol ini yaitu tidak adanya individualisasi teknik kontraksi untuk mengontrol otot. Keterbatasan ini penting diperhatikan karena adanya variasi di antara individu dalam kemampuan untuk menghasilkan dan mempertahankan kontraksi. 27
o Cara memperkenalkan latihan kepada individu
Hal pertama yang dilakukan adalah pengenalan otot-otot yang akan dilatih. Individu duduk atau berbaring dengan merelaksasikan otot paha, bokong dan abdomen. Ia diminta seolah-olah akan flatus dan mencoba menahannya agar angin tidak keluar, kemudian otot dilemaskan kembali. Saat miksi, individu diminta menghentikan aliran urin tengah, kemudian memulai miksi kembali. Perlu diingat bahwa latihan ini hanya untuk mempelajari otot yang tepat dan tidak boleh dilakukan lebih dari satu kali seminggu karena dapat mempengaruhi pengosongan kandung kemih yang normal. Cara lain adalah ”stop test”, yang dilakukan dengan hanya membayangkan sedang miksi, kemudian seketika menghentikan pancaran urin. Individu diminta merasakan pergerakan otot bawah yang seolah-olah berkumpul di tengah sehingga anus terangkat dan masuk ke dalam. Ia diajarkan untuk meraba gerakan tersebut, sampai yakin gerakannya benar, yang dipastikan oleh pelatihnya. Latihan dilakukan beberapa kali hingga ia yakin telah melatih otot yang tepat. 21, 31
Jika individu telah dapat merasakan ototnya bekerja, barulah dimulai latihan yang terprogram. Latihan dilakukan dengan mengencangkan, menarik dan mengangkat ke dalam panggul otot-otot di sekitar vagina, urethra dan anus sekaligus. Dua jenis kontraksi yang dilakukan yaitu: kontraksi cepat dan kontraksi lambat. Kontraksi cepat berupa: kontraksi – relaks – kontraksi – relaks dan seterusnya dengan hitungan cepat. Kontraksi lambat berupa: menahan kontraksi 3-4 detik, dengan cara menghitung 101,102,103,104 untuk kontraksi dan 101,102,103,104 untuk relaks, untuk kembali kontraksi 3-4 detik, relaks lagi dan seterusnya. 21 Cara lain yaitu: kontraksi dipertahankan dengan kuat hingga hitungan ke-5, kemudian relaksasi penuh kira-kira 10 detik. Jika individu telah mampu bertahan lebih dari hitungan ke-5, dapat diteruskan hingga 10 detik. Latihan diulang hingga maksimum 8-10 kali. Jika telah mahir, lakukan 5-10 kontraksi yang pendek, cepat tetapi kuat, paling sedikit 4-5 kali setiap hari secara rutin. 31
o Frekuensi latihan dan jumlah repetisi
Pada latihan Kegel, dilakukan sebanyak mungkin repetisi setiap hari (3-500 kali). Pada penelitian yang lebih baru, frekuensi latihan bervariasi dari 10 kali setiap waktu terjaga setiap hari, hingga setengah jam 3 kali seminggu. Dari kedua masa penelitian tersebut diperoleh perbaikan yang signifikan secara statistik. 6
o Intensitas, overload
Periode menahan dilakukan bervariasi antara 2-3 detik hingga 30-40 detik. Telah diteliti bahwa intensitas masing-masing kontraksi otot dasar panggul adalah salah satu faktor utama yang membedakan program latihan. ”Kelompok latihan intensif” belajar bagaimana melakukan kontraksi maksimum dan distimulasi dengan dorongan verbal yang kuat dalam kelas latihan berdurasi 45 menit, sekali seminggu. Mereka diminta melakukan kontraksi maksimal yang sama di rumah. Bo 6 mengatakan pada penelitian oleh Ferguson dkk dan Dougherty dkk, audiotape digunakan di rumah untuk mendorong intensitas kontraksi.
o Periode latihan
Lama periode latihan bervariasi antara 3 minggu sampai 6 bulan. 6
Protokol alternatif yang disebut Graduated Strength Training dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan protokol yang telah ada. Fokusnya adalah pada kontrol dan intensitas kontraksi otot dasar panggul, di mana peningkatan kemampuan lebih merupakan prioritas daripada peningkatan jumlah pengulangan. Lima tingkat terapi memungkinkan penyesuaian kemampuan individu dengan gaya teknik, untuk menaikkan ke tingkat berikutnya. Pada protokol ini, kemampuan untuk menghasilkan dan mempertahankan kontraksi intensitas tinggi merupakan tujuan. 27
• Protokol Latihan Knack
Latihan Knack ekivalen dengan lima tingkat protokol Graduated Strength Training. Latihan ini telah dilaporkan sejak lebih dari 10 tahun lalu dan telah melalui beberapa penelitian, tetapi tanpa spesifikasi sebagai intervensi yang berbeda. Terdapat tiga langkah pada latihan ini, yaitu: 27
o Kesadaran.
Latihan Knack dilakukan berdasarkan peningkatan kesadaran dan kemampuan untuk mengangkat, menahan dan stabilisasi struktur yang mempertahankan kontinensia. Bentuk biofeedback yang sederhana namun efektif menggunakan kapas lidi yang diletakkan intravagina. Ujung kapas yang besar diletakkan pada apeks vagina, dan ujung lidi satunya dibiarkan di vulva. Ujung lidi akan bergerak ke kaudal selama kontraksi levator ani yang benar dan akan bergerak ke arah kranial waktu mengedan. Teknik ini memberikan metode yang noninvasif, murah dan mudah didapat untuk menolong perempuan membedakan kontraksi levator dengan manuver mengedan. 27
o Pengembangan kemampuan
Setelah kesadaran terbentuk, langkah kedua adalah meningkatkan kemampuan mengkontraksikan otot dasar panggul sambil secara simultan melakukan aktivitas kedua, biasanya yang melibatkan pergerakan diafragma seperti batuk. Kemampuan ini sering dimulai dengan belajar menahan otot dasar panggul berkontraksi terus-menerus sambil bernafas normal (memungkinkan diafragma bergerak ke atas dan ke bawah). Langkah selanjutnya adalah menahan otot berkontraksi sambil secara simultan berjalan, berbalik, membungkuk, mengangkat benda dan akhirnya batuk. 27
o Pengembangan kebiasaan
Keberhasilan latihan Knack tergantung pada usaha menyatukan kebiasaan tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Adalah bermanfaat mengajarkan perempuan untuk menggunakan otot-ototnya secara aktif setiap hari jika saatnya diperlukan, misalnya ketika ingin menunda sensasi urgensi. Dengan membawa otot-otot tersebut menuju kesadaran dalam kehidupan sehari-hari, kesiagaan menjadi bertambah untuk mengembangkan kebiasaan Knack selama waktu potensial terjadinya kebocoran. 27

Luaran
Angka keberhasilan dan kesembuhan yang berdasarkan pelaporan pasien, bervariasi antara 17-84%. Namun terdapat kecenderungan bahwa angka kesembuhan lebih rendah daripada angka perbaikan. Pada penelitian-penelitian yang menggunakan alat ukur seperti pad test, eposide leakage dan pengukuran tekanan urethra, terdapat pengurangan keluarnya urin yang signifikan setelah latihan. Tidak ada laporan mengenai efek samping selama atau setelah menjalankan LODP. 6

Pengaruh Jangka Panjang
Pengaruh jangka panjang setelah penghentian periode LODP telah dievaluasi pada beberapa penelitian. Terdapat kecenderungan bahwa pengaruhnya tetap sama terhadap SIU. 6 Bahkan diungkapkan dalam suatu penelitian, 66% hasil latihan akan bertahan selama paling sedikit 10 tahun. 5





BAB III
KESIMPULAN



1. Otot levator ani merupakan salah satu komponen dasar panggul yang penting untuk memelihara kontinensia.
2. Mekanisme kontinensia dapat dijelaskan dengan ”hipotesis hammock” dan teori transmisi tekanan intraabdomen, di mana salah satu komponennya adalah otot levator ani.
3. Stres inkontinensia urin prevalensinya cukup tinggi pada perempuan dan terdapat terapi konservatif (yang bersifat farmakologis dan nonfarmakologis) dan operatif.
4. Latihan otot dasar panggul dengan cara memperkuat otot levator ani, merupakan salah satu terapi konservatif, terbukti efektif untuk stres inkontinensia urin derajat ringan dan sedang. Latihan ini tidak invasif dan tanpa efek samping sehingga digunakan sebagai terapi garis pertama.
















DAFTAR PUSTAKA



1. Wyman JF. Treatment of urinary incontinence in men and older women. AJN 2003;103 Suppl 3:26-35.
2. Locher JL, Burgio KL. Epidemiology of incontinence. In: Ostergard DR, Bent AE, editors. Urogynecology and urodynamics: theory and practice. 4th ed. Baltimore: Williams & Wilkins;1996.p.67-73.
3. Nygaard IE, Heit M. Stress Urinary Incontinence. Obstet Gynecol 2004;104:607-20.
4. Holroyd-Leduc J, Straus SE. Management of urinary incontinence in women: scientific review. JAMA 2004;291(8):986-95.
5. Cammu H, Van Nylen M, Amy JJ. A 10-year follow-up after Kegel pelvic floor muscle exercises for genuine stress incontinence. BJU Int 2000;85:655-8.
6. Bo K. Pelvic floor muscle exercise for the treatment of stress urinary incontinence: an exercise physiology perspective. Int Urogynecol J 1995;6:282-91.
7. Summitt RL, Bent AE. Genuine stress incontinence: an overview. In: Ostergard DR, Bent AE, editors. Urogynecology and urodynamics: theory and practice. 4th ed. Baltimore: Williams & Wilkins;1996.p.493-504.
8. Herschorn S. Female pelvic floor anatomy: the pelvic floor, supporting structures, and pelvic organs. Rev Urol 2004;6 Suppl 5:S2-10.
9. Leach G, Haab F. Female pelvic anatomy for the modern-day urologist. Contemporary Urology Archive 1998 Aug (cited 2004 Aug 15);(9 screens). http://www.contemporaryurology.com/be_core/content/journals/u/data/1998/0800/u8a042.html
10. Barber MD, Bremer RE, Thor KB, Dolber PC, Kuehl TJ, Coates KW. Innervation of the levator ani muscles. Am J Obstet Gynecol 2002;187:64-71.
11. DeLancey JOL. Functional anatomy of the pelvic floor and urinary continence mechanism. In: Schüssler B, Laycock J, Norton P, Stanton S, editors. Pelvic floor re-education: principles and practice. London: Springer-Verlag;1994.p.9-21.
12. Weidner AC, Versi E. Phisiology of micturition. In: Ostergard DR, Bent AE, editors. Urogynecology and urodynamics: theory and practice. 4th ed. Baltimore: Williams & Wilkins;1996.p.33-63
13. Wall LL. Urinary stress incontinence. In: Rock JA, Thompson JD, editors. Te Linde’s Operative Gynecology. 8th ed. Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers; 1997.p.1087-34.
14. Junizaf. Stress urinary incontinence and overactive bladder become a growing problem after menopause. Proceedings of the POGI 14th Annual Scientific Meeting; 2004 Jul 11-15; Bandung, Indonesia.
15. Lobel RW, Sand PK, Bowen LW. The urinary tract in pregnancy. In: Ostergard DR, Bent AE, editors. Urogynecology and urodynamics: theory and practice. 4th ed. Baltimore: Williams & Wilkins;1996.p.323-37.
16. Menefee SA, Wall LL. Incontinence, prolapse, and disorders of the pelvic floor. In: Berek JS, editors. Novak’s Gynecology. 13th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002.p.645-710.
17. Wall LL. Urinary stress incontinence. In: Rock JA, Thompson JD, editors. Te Linde’s Operative Gynecology. 8th ed. Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers; 1997.p.1087-34.
18. Swift SE, Yoon EA. Test-retest reliability of the cough stress test in the evaluation of urinary incontinence. Obstetrics & Gynecology 1999;94:99-102.
19. Pierson CA. Pad testing, nursing interventions, and urine loss appliances. In: Ostergard DR, Bent AE, editors. Urogynecology and urodynamics: theory and practice. 4th ed. Baltimore: Williams & Wilkins;1996.p.251-69.
20. Nitti VW, Combs AJ. Correlation of valsalva leak point pressure with subjective degree of stress urinary incontinence in women. The Journal of Urology 1996; 155(1):281-5.
21. Nuhonni SA. Pelvic floor exercise in urogynecology. Proceedings of the POGI 14th Annual Scientific Meeting; 2004 Jul 11-15; Bandung, Indonesia.
22. Bo K. Pelvic floor muscle is effective in treatment of female stress urinary incontinence, but how does it work? Int Urogynecol J 2004;15:76-84.
23. Wall LL. The muscles of the pelvic floor. Clin Obstet Gynecol 1993;36: 910-24.
24. Pires M. Bladder elimination and continence. In: Hoeman SP. Rehabilitation nursing: process and application. 2nd ed. St. Louis: Mosby-Year Book, Inc.; 1996.p.417-51.
25. Isherwood PJ, Rane A. Comparative assessment of pelvic floor strength using a perineometer and digital examination. Br J Obstet Gynecol 2000;107:1007-11.
26. Dietz HP, Jarvis SK, Vancaillie T. A comparison of three different techniques for the assessment of pelvic floor muscle strength. Int Urogynecol J Pelvic Floor Dysfunct 2003;14:288-90.
27. Miller JM. Criteria for therapeutic use of pelvic floor muscle training in women. J WOCN 2002;29:301-11.
28. Sampselle CM, Miller JM, Mims BL, DeLancey JOL, Ashton-Miller JA, Antonakos CL. Effect of pelvic muscle exercise on transient incontinence during pregnancy and after birth. Obstet Gynecol. 1998;91:406-12.
29. Wyman JF, Fantl JA, McClish DK, Bump RC. Comparative efficacy of behavioral interventions in the management of female urinary incontinence. Continence Program for Women Research Group. Am J Obstet Gynecol 1998;179:999-1007.
30. Miller JM, Ashton-Miller JA, DeLancey JOL. A pelvic muscle precontraction can reduce cough-related urine loss in selected women with mild SUI. J Am Geriatr Soc 1998;46:870-74.
31. The National Continence Management Strategy A Commonwealth Government Initiative. Pelvic floor exercises for women. English 2004;5:1-4.










LATIHAN OTOT DASAR PANGGUL
SEBAGAI TERAPI STRES INKONTINENSIA URIN

Makalah Sari Pustaka



Oleh :
FREDDY DINATA
Peserta PPDS Tahap IIB

Pembimbing :
dr. Budi Iman Santoso, SpOG





BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RSUPN DR. CIPTO MANGUNKUSUMO
JAKARTA, 2004
DAFTAR ISI



Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 2
2.1 Struktur Dasar Panggul yang Penting untuk Kontinensia ...................... 2
2.2 Mekanisme Kontinensia ......................................................................... 3
2.3 Stres Inkontinensia Urin ........ ................................................................. 7
2.4 Latihan Otot Dasar Panggul .................................................................... 12
BAB III KESIMPULAN ............................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 23














i
DAFTAR GAMBAR



Halaman
Gambar 1. Diafragma pelvis ………………………………………………………..... 2
Gambar 2. Pandangan lateral urethra dan vagina ........................................................ 4
Gambar 3. Potongan lintang sokongan urethra di bawah leher kandung kemih ......... 5
Gambar 4. Teori transmisi tekanan dalam rongga abdomen ........................................ 6
Gambar 5. Latihan otot dasar panggul ..........................................................................14



















ii

DAFTAR TABEL



Halaman
Tabel 1. Faktor Ekstrinsik dan Intrinsik Penutupan Urethra ...............…………...... 7
Tabel 2. Diagnosis Banding Stres Inkontinensia Urin ............................................... 10
Tabel 3. Terapi Stres Inkontinensia Urin ................................................................... 12


































iii

Tidak ada komentar:

Posting Komentar