Selasa, 17 Agustus 2010

BEDAH PLASTIK

Bedah Plastik
 Rekonstruksi :
• bawaan : labioschisis, palatoschisis, hipospadia, mikrotia (pada daun telinga)
• trauma : luka bakar,luka pada wajah,patah tulang wajah
• infeksi
• tumor :
 jinak  hemangioma, nevus, kutil
 ganas  basal cell carcinoma, squamous cell carcinoma
 Aestetik :
 Estetik wajah :
 Blepharoplasti  membuat lipatan pada kelopak mata
 Rhinoplasti (augmentasi dan mengurangi)
 Mentoplasti (pada dagu)
 Facelifting (penarikan kulit ke atas  utk kencangkan kulit wajah)
 Estetik payudara :
 Memperbesar
 Mengangkat
 Mengecilkan
 Memperbaiki puting
 Lemak permukaan :
 Perut
 Paha – pantat
 Perut :
 Lipectomi (lemak + kulit dibuang)  sebaiknya lakukan liposuction dulu
 Liposuction (sedot lemak  jika kulit masih bagus)
________________________________________
Hypospadia
Kelainan bawaan, perkembangan urethra yang tidak sempurna, muara urethra terletak lebih proximal dari letak normal pada ujung glans penis.
 Asal kata Yunani :  Hypo : dibawah
 Spados : robek
 Insidens :
 Faktor keturunan : rendah 9,6 – 14 % dari kasus.
 1 : 300 kelahiran lelaki pada kulit putih.
 Embriologi :
 Gangguan penyatuan lipatan–lipatan urethra.
 Pada akhir bulan ke–3 kedua lipatan urethra menutupi lempeng urethra.
 Bagian paling distal dibentuk pada bulan ke– .
 Anatomi :
 Glans penis lebih datar, alur ventralnya datar.
 Preputium bagian ventral tidak terbentuk.
 Bagian dorsal kulit prepucium berlebihan disebut dorsal hood.
 Jika meatus letak pada scrotum atau perineum, scrotum terbelah dua.
 Kulit penis sebelah ventral, distal dari meatus tipis, serta jaringan subcutis.
Fascia dartos, fascia buck dari corpus spongiosum tidak terbentuk, diganti oleh jaringan ikat fibrous yang padat dan berbentuk kipas yang menyebabkan penis bengkak ke ventral, inilah yang disebut chordae.
 Klasifikasi :
 Glanular : meatus pada glans
 Scrotal : meatus pada scrotal
 Distal penile : meatus pada 1/3 distal penis
 Perineal : meatus pada perineus
 Penile : meatus pada 1/3 tengah & proximal penis
 Peno scrotal : meatus pada penoscrotal
 Pengelolaan :
 Circumcisi merupakan kontra indikasi.
 Umur 1 tahun dapat dilakukan tindakan koreksi chordae.
Umur 4 – 5 tahun tindakan urethroplasty.
 Langkah – langkah pada operasi hypospadia :
 Koreksi meatus : - stenosis
- urethra assesorius
 Koreksi chordae : bila ada.
 Rekonstruksi urethra :
* Cukup lebar
* Tidak berambut
* Uniform
* Mempunyai potensi bertumbuh normal
* E lastis
* Sampai ke ujung glans
 Pengalihan kulit dorsal penis yang berlebihan ke ventral.
 Koreksi malformasi–malformasi yang berhubungan.
 Teknik operasi
I. Satu tahap :
• Thomas R. Broadbent
• Esat Toksu
• John D. Desprez
• N. Scudeni
• NLester Persky
• Ti Song Chang
• Charles E. Horton
• Charles J. Devine
II. Dua tahap :
• Van der Neculen
• J. M. Maes
• Byars
• Denis Browne
III. Tiga tahap :
• Ormond
• S. Culp
 Komplikasi
 Dini : (infeksi, fistula, hematom, dehisensi luka/luka robek lagi)
 Lanjut : (urethra pendek, divertikel, striktur, batu)
________________________________________
HEMANGIOMA
 Tumor jinak pembuluh darah–arteri, vena, korpus.
 Terjadi oleh gangguan perkembangan pembuluh darah utama.
 Congenital.
 Lesi bersifat elastik, kompressibel, datar/sedikit timbul, bulat/berlobus, warna dari merah muda sampai merah kebiruan/ungu.
 Lesi terutama pada leher dan kepala dan berlokasi pada dermis dan subkutis selain itu dapat timbul pada bagian tubuh lain.
 27 % tampak sejak lahir.
85 % tampak pada umur 1 tahun.
 Syndrom yang berhubungan dengan Hemangioma :
- Sturge Weber Syndrome
- Maffucci Syndrome
 Etiologi
- Kongenital ± 75 %
- Trauma
- Idiopatik
 Klasifikasi
Berdasarkan tipe pembuluh darah
A. Hemangioma Kapiler
 Port wine stain
 Strawberry Hemangioma
 Senile Hemangioma
 Pyogenik Granuloma
 Salmon Patch
B. Kavernous Hemangioma
C. Mix Hemangioma (kapiler & kavernous)
D. Hemangioma lain :
 Verrukous Hemangioma
 Keratotik Hemangioma
 Sklerosing Hemangioma
________________________________________
HEMANGIOMA KAPILER
1. Strawberry Hemangioma
• Sering ditemukan.
• Terjadi dari proliferasi aktif stroma pembuluh darah kapiler yang imatur.
• Sebagian besar pada leher, kepala, dan juga tubuh, pada umumnya soliter, tapi bisa 2 – 4 buah.
• Pada saat lahir, lesi bintik–bintik kecil terang.
• Berkembang cepat dari distorsi & deformitas  ulserasi  jaringan parut.
• Bisa terjadi infeksi sekunder atau perdarahan.
• Hemangioma berhubungan dengan thrombositopenia & purpura  Kasabach Meritt Syndrome.
• Khas : akhir bulan 3 – bulan 6 pertumbuhan cepat.
• Involusi pada umur 6–12 bulan.
• Tanda dini : bintik putih ke abu–abuan (Gray White patch) pada bagian sentral lesi.
• Regresi spontan 75–95 % pada umur 5–7 tahun.
• Klinik :
- Lesi soliter, batas tegas. - Ukuran ½ - 3 cm
- Warna merah, lobulasi seperti strawberry. - Terutama leher dan kepala.
- Sedikit lebih tinggi dari kulit sekitarnya. - Paling sering ditemukan pada anak–anak.
• Pengobatan
Cenderung regressi spontan dan komplit, maka umumnya tidak memerlukan pengobatan.
Indikasi terapi agresif :
1.Terlibatnya struktur vital.
2. Pertumbuhan cepat dengan kemungkinan sequele yang serius untuk kosmetik.
3. Obstruksi mekanik orificium.
4. Perdarahan/kemungkinan terjadi perdarahan.
5. Kemungkinan kolaps kardiovaskuler.
• Tindakan
- Dry ice 1–2 minggu. - Penyinaran
- Scleroting solution. - Eksisi
• Pengamatan : Hemangioma yang berkembang cepat pada bayi.
Prednison 20 mg/hr, intermittent 5 mgg – 2 thn untuk supressi.
2. Port Wine Stain ( Nevus Flammeus)
• Merupakan malformasi kongenital pembuluh darah kapiler matur sejak lahir, pada wajah, unilateral, mengikuti persarafan n. sensoris, n. trigeminus.
Berupa : makula batas tegas, uniform, warna merah muda – merah gelap/kebiruan.
• Tidak terjadi regressi spontan, dan perlahan–lahan menjadi verroukous pada dewasa.
• Port wine stain pada sentral wajah.
- Konvulsi
- Gangguan intelegensia
- Hemiphlegia
- Gangguan/perubahan okuler
“Sturge Weber Disease”
• Klinis
- Pada bayi.
- Plaque merah muda sampai merah kebiruan; unilateral; wajah dan leher.
- Distribusi mengikuti N. sensoris trigeminus.
- Permukaan rata (= kulit).
- Test Diaskopi : warna lesi putih sebagian/seluruh.
- Persisten/tidak membesar.
• Terapi
Umumnya hasil tidak memuaskan
- Tattoo. - Operasi dengan/tanpa skin graft.
- Sinar laser  hasil kurang baik. - “Cover mark”  krim tahan air.
- Penyinaran  radioresisten  perlu dosis tinggi  atrofi radio dermatitis.
3. Senile Hemagioma
• Banyak terdapat pada umur lanjut, Onset pada saat remaja.
• Utama : batang tubuh, ekstrimitas bagian proksimal.
• Klinis :
- Warna terang sampai keunguan. - Biasanya multipel.
- Bentuk seperti kubah, sedikit elevasi. - Permukaan licin ukuran 1 – 3 mm.
• Tindakan : Eksisi.
4. Pyogenik Granuloma ( Granuloma Teleangiektatikum)
• Merupakan proliferasi hemangioma kapiler yang sering terdapat pada tempat yang mengalami trauma, dan menggambarkan suatu proses proliferasi vaskuler reaktif.
• Dihubungkan dengan infeksi tapi sebenarnya bukan infeksi.
• Terutama pada anak-anak.
• Lokasi : ekstrimitas bagian distal, wajah
Mula–mula kecil, papel erythema dan cepat membesar, berwarna merah terang dengan gambaran lobulasi seperti Raspberry pada waktu membesar lesi menjadi bertangkai.
Pada perkembangan lanjutnya lesi berkrusta warna kuning, coklat atau hitam dengan eksudat purulen.
Mudah berdarah akibat trauma minor
• Tindakan : - Eksisi
- Kauterisasi
5.Salmon Patch
• Bentuk transien dengan superficial hemangioma yang sering ditemukan, terutama pada neonatus dan infant.
• Lokasi : sentral dahi dan wajah.
• Menghilang secara spontan perlahan–lahan pada akhir tahun ke–2.

Cavernous Hemangioma
• Merupakan rongga besar/sinusopid yang berisi darah, dibatasi oleh endotel, struktur sama dengan jaringan erektil/kavernous penis; menyebabkan deformitas bentuk & warna.
• Biasanya tidak terlihat pada saat lahir E > G, distribusi = strawberry hemangioma.
• Warna dan bentuk lesi tergantung dalamnya proses.
• Lesi superficial warna merah terang sampai gelap.
• Komplikasi :
- Gangguan kosmetik  warna - Lesi besar  distorsi, deformitas
- Perdarahan, infeksi, thrombose - Jaringan parut
• ………… irregular.
• Sedikit lebih tinggi dari kulit sekitar, kalau ditekan kosong.
• Lesi profunda : Licin, bundar atau lobulasi.
• Sering pada kepala, leher lokalisasi kulit & subkutis & otot.
• Konsistensi seperti spons.
• Tindakan : eksisi

Kapiler Kavernous Hemangioma
• Mengandung komponen kavernous pada bagian dalam dan kapiler pada bagian superficial.
• Sifat–sifat kombinasi.
Hemangioma Lain
1. Verrukous Hemangioma
• Lesi ini merupakan variasi mix hemangioma yang mengalami perubahan proliferasi aktif epidermis.
• Congenital.
• Tanda khas : - acanthosis
- papilomatosis
• Lokasi : Lesi soliter pada Extrimitas inferior, thorax, lengan bawah/depan.
• Sejak lahir, childhood.
• Permulaan :
• - lunak, batas tegas, kemerahan/kebiruan.
 membesar & berkembang.  gambaran keratotik & verrokous.
• Tindakan : Eksisi.
2. Keratotik Hemangioma
• Jarang ditemukan.
• Karateristik lesi berwarna merah ungu, berkutil, irreguler, sangat superficial, kadang-kadang terjadi gigantisme regional, karena lesi ini meluas ke dermis profunda, lemak sub kutan, otot.
• Tindakan : Eksisi.
3. Sclerosing Hemangioma
• Sering disebut : Dermato fibroma
Histiocytoma
Fibrosis sub epidermal
• E : 20 – 50 tahun.
• Sering pada ekstrimitas (trauma).
• Lesi soliter, batas tegas, sedikit elevasi, keras, nodul, warna kuning atau kemerahan, tidak nyeri, lekat pada kulit.
• Tindakan : Eksisi.
________________________________________
BASALIOMA
 Tumor epithelial kulit yang berasal dari sel basal epidermis.
 Nama lain :  Epithelioma sel basal  Tumor Komprecher
 Ulcus rhodent  Basal Cell Ca
 Ulcus Jacobi
 Lokalisasi :
 Muka 85 %
 Badan 10 %
 Anggota badan 5 %
 Faktor predisposisi :
 Kontak sinar U.V lama.  Karsinogen kimia.
 Radiasi berulang, dosis besar.  Kelainan genetik.
 Jaringan parut luka bakar.  Immuno supressi.
 Walaupun karsinogen bermacam–macam tumor ini terjadi sebagai akibat dari kegagalan sel basal untuk mengalami maturasi & keratinisasi.
 Gambaran Klinik :
 Sebagian besar terjadi pada wajah berupa satu/beberapa nodule translusen dengan pusat lebih dalam dari tepinya.
 Ulkus dengan krusta dan sering mengalami perdarahan, teleangiektasis letak tepat di bawahnya.
 Konsistensi keras, tidak induratif, letak dalam  rata/retraktif.
 Bagian tengah nodule  ulserasi.
 Kadang–kadang berpigmen  mirip melanoma.
 Tipe Basalioma
 Nodulo ulceratif
 Berpigmen/pigmented basal cell epithelioma
 Fibrosa/morphea like epithelioma
 Superficial
 Fibroepithelioma
 Penanganan
 Tujuan untuk menghilangkan lesi memberikan kesembuhan permanen dan hasil estetis yang baik.
 Pembedahan/eksisi.  Bedah kimiawi
 Radiasi  Sitostatika topikal/intralesi
 Bedah elektro  Bedah krio
 Kuretase  Laser
 Prognosis
 Umumnya baik, bila belum metastase kel. Lymphe regional paru–paru, hati & tulang
 Diagnosa Banding
 Karsinoma sel squamous
Umumnya daerah peralihan muko–kutan berbentuk papulo keratotik, keras, peradangan berulang–ulang, pertumbuhan sangat cepat & tidak ada teleangiektasis.
 Melanoma maligna
Utama pada ekstrimitas, berbentuk pigmented halo, tidak ada teleangiektasis metastasis cepat  lymfatik.
 Psoariasis
Krusta dilepaskan tepinya rata dengan sekitarnya

ILEUS OBSTRUKTIF

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................
DAFTAR ISI ........................................................................................

I. PENDAHULUAN ....................................................................
II. DEFENISI ................................................................................
III. EPIDEMIOLOGI ....................................................................
IV. KLASIFIKASI .........................................................................
V. ETIOLOGI ...............................................................................
VI. PATOGENESIS .......................................................................
VII. MANIFESTASI KLINIS .........................................................
VIII. DIAGNOSIS .............................................................................
IX. DIAGNOSIS BANDING ..........................................................
X. PEMERIKSAAN PENUNJANG .............................................
XI. KOMPLIKASI ...........................................................................
XII. PENATALAKSANAAN ...........................................................
XIII. PROGNOSIS .............................................................................

ILUSTRASI KASUS .............................................................................
FOLLOW UP
DAFTAR PUSTAKA







ILEUS OBSTRUKTIF

I. PENDAHULUAN
Hambatan pasase usus dapat disebabkan oleh obstruksi lumen usus atau oleh gangguan peristaltis. Obstruksi usus disebut juga obstruksi mekanik. Penyumbatan dapat terjadi dimana saja di sepanjang usus. Pada obstruksi usus harus dibedakan lagi obstruksi sederhana dan obstruksi strangulata. Obstruksi usus yang disebabkan oleh hernia, invaginasi, adhesi dan volvulus mungkin sekali disertai strangulasi, sedangkan obstruksi oleh tumor atau askariasis adalah obstruksi sederhana yang jarang menyebabkan strangulasi.1
Pada bayi dan bayi baru lahir, penyumbatan usus biasanya disebabkan oleh cacat lahir, massa yang keras dari isi usus (mekonium) atau ususnya berputar (volvulus). Invaginasi merupakan penyebab tersering dari sumbatan usus akut pada anak, dan sumbatan usus akut ini merupakan salah satu tindakan bedah darurat yang sering terjadi pada anak.2,3
Penyebab obstruksi kolon yang paling sering ialah karsinoma terutama pada daerah rektosigmoid dan kolon kiri distal. Tanda obstruksi usus merupakan tanda lanjut (late sign) dari karsinoma kolon. Obstruksi ini adalah obstruksi usus mekanik total yang tidak dapat ditolong dengan cara pemasangan tube lambung, puasa dan infus. Akan tetapi harus segera ditolong dengan operasi (laparatomi). Umumnya gejala pertama timbul karena penyulit yaitu gangguan faal usus berupa gangguan sistem saluran cerna, sumbatan usus, perdarahan atau akibat penyebaran tumor. Biasanya nyeri hilang timbul akibat adanya sumbatan usus dan diikuti muntah-muntah dan perut menjadi distensi/kembung. Bila ada perdarahan yang tersembunyi, biasanya gejala yang muncul anemia, hal ini sering terjadi pada tumor yang letaknya pada usus besar sebelah kanan.1,4,5

II. DEFENISI
Obstruksi usus (mekanik) adalah keadaan dimana isi lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena ada sumbatan/hambatan yang disebabkan kelainan dalam lumen usus, dinding usus atau luar usus yang menekan atau kelainan vaskularisasi pada suatu segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen usus tersebut.6
Ileus obstruktif = ileus mekanik = ileus dinamik. Suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau mengganggu jalannya isi usus.2,6

III. EPIDEMIOLOGI
Hernia strangulata adalah salah satu keadaan darurat yang sering dijumpai oleh dokter bedah dan merupakan penyebab obstruksi usus terbanyak. Mc Iver mencatat 44% dari obstruksi mekanik usus disebabkan oleh hernia eksterna yang mengalami strangulasi. Di RSCM, pada tahun 1989, Kartowisastro dan Wiriasoekarta melaporkan 58% kasus obstruksi mekanik usus halus disebabkan oleh hernia.7
Sutjipto (1990) dalam penelitiannya mengungkapkan indikasi relaparatomi karena obstruksi usus akibat adhesi sebesar 17,7%. Walaupun di negara berkembang seperti di Indonesia, adhesi bukanlah sebagai penyebab utama terjadinya obstruksi usus. Penyebab tersering obstruksi usus di Indonesia, khususnya di RSUPNCM, adalah hernia, baik sebagai penyebab obstruksi sederhana (51%) maupun obstruksi usus strangulasi (63%).8
Adhesi pasca operasi timbul setelah terjadi cedera pada permukaan jaringan, sebagai akibat insisi, kauterisasi, jahitan atau mekanisme trauma lainnya. Dari laporan terakhir pasien yang telah menjalani sedikitnya sekali operasi intra abdomen, akan berkembang adhesi satu hingga lebih dari sepuluh kali. Obstruksi usus merupakan salah satu konsekuensi klinik yang penting. Di negara maju, adhesi intraabdomen merupakan penyebab terbanyak terjadinya obstruksi usus. Pada pasien digestif yang memerlukan tindakan reoperasi, 30-41% disebabkan obstruksi usus akibat adhesi. Untuk obstruksi usus halus, proporsi ini meningkat hingga 65-75%.8


IV. KLASIFIKASI
Klasifikasi obstruksi usus berdasarkan :9-10
1. Kecepatan timbul (speed of onset)
- Akut, kronik, kronik dengan serangan akut
2. Letak sumbatan
- Obstruksi tinggi, bila mengenai usus halus (dari gaster sampai ileum terminal)
- Obstruksi rendah, bila mengenai usus besar (dari ileum terminal sampai anus)
3. Sifat sumbatan
- Simple obstruction : sumbatan tanpa disertai gangguan aliran darah
- Strangulated obstruction : sumbatan disertai gangguan aliran darah sehingga timbul nekrosis, gangren dan perforasi
4. Etiologi
- Kelainan dalam lumen, di dalam dinding dan di luar dinding usus

V. ETIOLOGI
Obstruksi usus halus dapat disebabkan oleh :1,2,10,11
- Perlekatan usus atau adhesi, dimana pita fibrosis dari jaringan ikat menjepit usus.
- Jaringan parut karena ulkus, pembedahan terdahulu atau penyakit Crohn.
- Hernia inkarserata, usus terjepit di dalam pintu hernia
- Neoplasma.
- Intususepsi.
- Volvulus.
- Benda asing, kumpulan cacing askaris
- Batu empedu yang masuk ke usus melalui fistula kolesisenterik.
- Penyakit radang usus, striktur, fibrokistik dan hematoma.
Obstruksi Usus Besar
Kira-kira 15% obstruksi usus terjadi di usus besar. Obstruksi dapat terjadi di setiap bagian kolon tetapi paling sering di sigmoid.10
Penyebabnya adalah :1,2,10,11
- Karsinoma.
- Volvulus.
- Kelainan divertikular (Divertikulum Meckel), Penyakit Hirschsprung
- Inflamasi.
- Tumor jinak.
- Impaksi fekal.

VI. PATOGENESIS
Usus di bagian distal kolaps, sementara bagian proksimal berdilatasi. Usus yang berdilatasi menyebabkan penumpukan cairan dan gas, distensi yang menyeluruh menyebabkan pembuluh darah tertekan sehingga suplai darah berkurang (iskemik), dapat terjadi perforasi. Dilatasi dan dilatasi usus oleh karena obstruksi menyebabkan perubahan ekologi, kuman tumbuh berlebihan sehingga potensial untuk terjadi translokasi kuman. Gangguan vaskularisasi menyebabkan mortalitas yang tinggi, air dan elektrolit dapat lolos dari tubuh karena muntah. Dapat terjadi syok hipovolemik, absorbsi dari toksin pada usus yang mengalami strangulasi.6,9
Dinding usus halus kuat dan tebal, karena itu tidak timbul distensi berlebihan atau ruptur. Dinding usus besar tipis, sehingga mudah distensi. Dinding sekum merupakan bagian kolon yang paling tipis, karena itu dapat terjadi ruptur bila terlalu tegang. Gejala dan tanda obstruksi usus halus atau usus besar tergantung kompetensi valvula Bauhini. Bila terjadi insufisiensi katup, timbul refluks dari kolon ke ileum terminal sehingga ileum turut membesar.1
Pengaruh obstruksi kolon tidak sehebat pengaruh pada obstruksi usus halus karena pada obstruksi kolon, kecuali pada volvulus, hampir tidak pernah terjadi strangulasi. Kolon merupakan alat penyimpanan feses sehingga secara relatif fungsi kolon sebagai alat penyerap sedikit sekali. Oleh karena itu kehilangan cairan dan elektrolit berjalan lambat pada obstruksi kolon distal.1


VII. MANIFESTASI KLINIS
A. Obstruksi sederhana
Obstruksi usus halus merupakan obstruksi saluran cerna tinggi, artinya disertai dengan pengeluaran banyak cairan dan elektrolit baik di dalam lumen usus bagian oral dari obstruksi, maupun oleh muntah. Gejala penyumbatan usus meliputi nyeri kram pada perut, disertai kembung. Pada obstruksi usus halus proksimal akan timbul gejala muntah yang banyak, yang jarang menjadi muntah fekal walaupun obstruksi berlangsung lama. Nyeri bisa berat dan menetap. Nyeri abdomen sering dirasakan sebagai perasaan tidak enak di perut bagian atas. Semakin distal sumbatan, maka muntah yang dihasilkan semakin fekulen.1,2,10
Tanda vital normal pada tahap awal, namun akan berlanjut dengan dehidrasi akibat kehilangan cairan dan elektrolit. Suhu tubuh bisa normal sampai demam. Distensi abdomen dapat dapat minimal atau tidak ada pada obstruksi proksimal dan semakin jelas pada sumbatan di daerah distal. Bising usus yang meningkat dan “metallic sound” dapat didengar sesuai dengan timbulnya nyeri pada obstruksi di daerah distal.10
B. Obstruksi disertai proses strangulasi
Gejalanya seperti obstruksi sederhana tetapi lebih nyata dan disertai dengan nyeri hebat. Hal yang perlu diperhatikan adalah adanya skar bekas operasi atau hernia. Bila dijumpai tanda-tanda strangulasi berupa nyeri iskemik dimana nyeri yang sangat hebat, menetap dan tidak menyurut, maka dilakukan tindakan operasi segera untuk mencegah terjadinya nekrosis usus.10
C. Obstruksi mekanis di kolon timbul perlahan-lahan dengan nyeri akibat sumbatan biasanya terasa di epigastrium. Nyeri yang hebat dan terus menerus menunjukkan adanya iskemia atau peritonitis. Borborygmus dapat keras dan timbul sesuai dengan nyeri. Konstipasi atau obstipasi adalah gambaran umum obstruksi komplit. Muntah lebih sering terjadi pada penyumbatan usus besar. Muntah timbul kemudian dan tidak terjadi bila katup ileosekal mampu mencegah refluks. Bila akibat refluks isi kolon terdorong ke dalam usus halus, akan tampak gangguan pada usus halus. Muntah fekal akan terjadi kemudian. Pada keadaan valvula Bauchini yang paten, terjadi distensi hebat dan sering mengakibatkan perforasi sekum karena tekanannya paling tinggi dan dindingnya yang lebih tipis. Pada pemeriksaan fisis akan menunjukkan distensi abdomen dan timpani, gerakan usus akan tampak pada pasien yang kurus, dan akan terdengar metallic sound pada auskultasi. Nyeri yang terlokasi, dan terabanya massa menunjukkan adanya strangulasi.2,10

VIII. DIAGNOSIS
Pada anamnesis obstruksi tinggi sering dapat ditemukan penyebab misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi atau terdapat hernia. Gejala umum berupa syok, oliguri dan gangguan elektrolit. Selanjutnya ditemukan meteorismus dan kelebihan cairan di usus, hiperperistaltis berkala berupa kolik yang disertai mual dan muntah. Kolik tersebut terlihat pada inspeksi perut sebagai gerakan usus atau kejang usus dan pada auskultasi sewaktu serangan kolik, hiperperistaltis kedengaran jelas sebagai bunyi nada tinggi. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu kolik dan setelah satu dua kali defekasi tidak ada lagi flatus atau defekasi. Pemeriksaan dengan meraba dinding perut bertujuan untuk mencari adanya nyeri tumpul dan pembengkakan atau massa yang abnormal. Gejala permulaan pada obstruksi kolon adalah perubahan kebiasaan buang air besar terutama berupa obstipasi dan kembung yang kadang disertai kolik pada perut bagian bawah. Pada inspeksi diperhatikan pembesaran perut yang tidak pada tempatnya misalnya pembesaran setempat karena peristaltis yang hebat sehingga terlihat gelombang usus ataupun kontur usus pada dinding perut. Biasanya distensi terjadi pada sekum dan kolon bagian proksimal karena bagian ini mudah membesar.1,2
Dengan stetoskop, diperiksa suara normal dari usus yang berfungsi (bising usus). Pada penyakit ini, bising usus mungkin terdengar sangat keras dan bernada tinggi, atau tidak terdengar sama sekali.2
Nilai laboratorium pada awalnya normal, kemudian akan terjadi hemokonsentrasi, leukositosis, dan gangguan elektrolit. Pada pemeriksaan radiologis, dengan posisi tegak, terlentang dan lateral dekubitus menunjukkan gambaran anak tangga dari usus kecil yang mengalami dilatasi dengan air fluid level. Pemberian kontras akan menunjukkan adanya obstruksi mekanis dan letaknya. Pada ileus obstruktif letak rendah jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan rektosigmoidoskopi dan kolon (dengan colok dubur dan barium in loop) untuk mencari penyebabnya. Periksa pula kemungkinan terjadi hernia.10

IX. DIAGNOSIS BANDING
Pada ileus paralitik nyeri yang timbul lebih ringan tetapi konstan dan difus, dan terjadi distensi abdomen. Ileus paralitik, bising usus tidak terdengar dan tidak terjadi ketegangan dinding perut. Bila ileus disebabkan oleh proses inflamasi akut, akan ada tanda dan gejala dari penyebab primer tersebut. Gastroenteritis akut, apendisitis akut, dan pankreatitis akut juga dapat menyerupai obstruksi usus sederhana.10

X. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tidak mempunyai ciri-ciri khusus. Pada urinalisa, berat jenis bisa meningkat dan ketonuria yang menunjukkan adanya dehidrasi dan asidosis metabolik. Leukosit normal atau sedikit meningkat, jika sudah tinggi kemungkinan sudah terjadi peritonitis. Kimia darah sering adanya gangguan elektrolit.6
Foto polos abdomen sangat bernilai dalam menegakkan diagnosa ileus obstruksi. Sedapat mungkin dibuat pada posisi tegak dengan sinar mendatar. Posisi datar perlu untuk melihat distribusi gas, sedangkan sikap tegak untuk melihat batas udara dan air serta letak obstruksi. Secara normal lambung dan kolon terisi sejumlah kecil gas tetapi pada usus halus biasanya tidak tampak.1,6
Gambaran radiologi dari ileus berupa distensi usus dengan multiple air fluid level, distensi usus bagian proksimal, absen dari udara kolon pada obstruksi usus halus. Obstruksi kolon biasanya terlihat sebagai distensi usus yang terbatas dengan gambaran haustra, kadang-kadang gambaran massa dapat terlihat. Pada gambaran radiologi, kolon yang mengalami distensi menunjukkan gambaran seperti ‘pigura’ dari dinding abdomen.10,11
Kemampuan diagnostik kolonoskopi lebih baik dibandingkan pemeriksaan barium kontras ganda. Kolonoskopi lebih sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis neoplasma dan bahkan bisa langsung dilakukan biopsi.12

XI. KOMPLIKASI
Pada obstruksi kolon dapat terjadi dilatasi progresif pada sekum yang berakhir dengan perforasi sekum sehingga terjadi pencemaran rongga perut dengan akibat peritonitis umum.1

XII. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang mengalami obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan. Menghilangkan penyebab obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatu penyumbatan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, terutama jika disebabkan oleh perlengketan. Penderita penyumbatan usus harus di rawat di rumah sakit.10,13
A. Persiapan
Pipa lambung harus dipasang untuk mengurangi muntah, mencegah aspirasi dan mengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien dipuasakan, kemudian dilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan keadaan umum. Setelah keadaan optimum tercapai barulah dilakukan laparatomi. Pada obstruksi parsial atau karsinomatosis abdomen dengan pemantauan dan konservatif.1,10
B. Operasi
Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ vital berfungsi secara memuaskan. Tetapi yang paling sering dilakukan adalah pembedahan sesegera mungkin. Tindakan bedah dilakukan bila :1,2,10
- Strangulasi
- Obstruksi lengkap
- Hernia inkarserata
- Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan pemasangan NGT, infus, oksigen dan kateter)
C. Pasca Bedah
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan elektrolit. Kita harus mencegah terjadinya gagal ginjal dan harus memberikan kalori yang cukup. Perlu diingat bahwa pasca bedah usus pasien masih dalam keadaan paralitik.10

XIII. PROGNOSIS
Mortalitas ileus obstruktif ini dipengaruhi banyak faktor seperti umur, etiologi, tempat dan lamanya obstruksi. Jika umur penderita sangat muda ataupun tua maka toleransinya terhadap penyakit maupun tindakan operatif yang dilakukan sangat rendah sehingga meningkatkan mortalitas. Pada obstruksi kolon mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan obstruksi usus halus.6

XIV. RESUME
Obstruksi usus (mekanik) adalah keadaan dimana isi lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena ada sumbatan/hambatan yang disebabkan kelainan dalam lumen usus, dinding usus atau luar usus yang menekan atau kelainan vaskularisasi pada suatu segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen usus tersebut.
Obstruksi usus halus dapat disebabkan oleh adhesi, hernia inkarserata, neoplasma, intususepsi, volvulus, benda asing, kumpulan cacing askaris, sedangkan obstruksi usus besar penyebabnya adalah karsinoma, volvulus, divertikulum Meckel, penyakit Hirschsprung, inflamasi, tumor jinak, impaksi fekal.
Gejala penyumbatan usus meliputi nyeri kram pada perut, disertai kembung. Bising usus yang meningkat dan “metallic sound” dapat didengar sesuai dengan timbulnya nyeri pada obstruksi di daerah distal. Gejala umum berupa syok, oliguri dan gangguan elektrolit. Kolik dapat terlihat pada inspeksi perut sebagai gerakan usus atau kejang usus dan pada auskultasi sewaktu serangan kolik, hiperperistaltis kedengaran jelas sebagai bunyi nada tinggi. Usus di bagian distal kolaps, sementara bagian proksimal berdilatasi. Usus yang berdilatasi menyebabkan penumpukan cairan dan gas, distensi yang menyeluruh menyebabkan pembuluh darah tertekan sehingga suplai darah berkurang (iskemik), dapat terjadi perforasi. Gambaran radiologi dari ileus berupa distensi usus dengan multiple air fluid level, distensi usus bagian proksimal, absen dari udara kolon pada obstruksi usus halus.
Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang mengalami obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan.

SENDI ISLAM

BERIMAN DENGAN ISLAM, BERISLAM DENGAN BERIMAN
Oleh : Hendra Moslem Nurdin

Tidak semua orang islam dikatagorikan sebagai seorang yang beriman. Orang beriman adalah apabila telah menjalankan rukun iman sebagai berikut :
1. Iman kepada Allah
2. Iman kepada Rasul
3. Iman kepada Malaikat
4. Iman kepada Al-Quran, dan kitab yang diturunkan kapada Rasul sebelumnya
5. Iman kepada akan datangnya Hari Akhirat
6. Iman kepada Qadar baik dan jahat

Rukun Iman tidak boleh hanya dihafal saja, tetapi harus dengan pemahaman. Pemahaman tersebut berlandaskan Tauhid. Kita harus mampu membuat differensiasi baik dengan dalil Aqli atau dalil Naqli.
Islam terdiri dari 3 bagian besar :
1. Tauhid (Hakikat)
2. Fiqh (Syariat)
3. Tasawuf (Tarikat)

Sebagian orang hanya berpatron pada Syariat saja, tanpa memperhatikan Tauhid. Saya ibaratkan Tauhid sebagai Tanah, Fiqh sebagai tanaman, dan Tasawuf sebagai pagar. Ketiga hal tersebut tidak bisa dipisahkan.
Timbul pertanyaan, bagaimana kalau seseorang sholat (Syariat) tetapi tidak memahami tauhid. Bagaimana kita mengirimkan sebuah surat tanpa alamat?...saya hanya membuat tamsilan, tapi dengan logika kita seyogyanya kita sudah mendapat jawaban, wallahu alam…
Saudaraku, sebelum terlambat belajar dan pahami ITIQAD 50 :
1. Dua Puluh sifat wajib bagi Allah beserta 20 sifat mustahil bagi Allah dengan dalil Aqli atau Naqli
2. Satu sifat Jaiz bagi Allah beserta dalil
3. Empat sifat wajib bagi Rasulullah beserta 4 sifat mustahil bagi Rasulullah dengan dalil Aqli atau Naqli
4. Satu sifat Jaiz bagi Rasulullah beserta dalil
Karena kalimat tauhid yang kita ucapkan bukan hanya sekedar lafazh saja. Dengan harapan semoga syarat minimal tauhid ini diterima oleh Allah, wallahu alam. Dengan landasan tauhid kita selanjutnya menjalankan Syariat sesuai hukum-hukumnya. Lalu menjalankan syariat dengan tatacara yang benar (sesuai ilmu) berarti kita telah pada tarikat/tasawuf yang benar. Barakallah

Senin, 16 Agustus 2010

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Epidemiologi
Chronic Kidney Disease (CKD) telah menjadi kekhawatiran yang berkembang di dunia karena prevalensinya yang meningkat serta hasil akhirnya yang buruk. Di Amerika serikat penderita CKD mencapai 20 juta yang berarti 1 dari 9 orang dewasa.1
Meskipun teknik dialisis dan transplantasi makin berkembang namun prognosis gagal ginjal tetap buruk. Sistem pendataan ginjal di Amerika Serikat pada tahun 2001 menunjukkan angka lebih dari 76.500 kematian pasien dengan End Stage Renal Disease (ESRD), angka ini seakan tidak berubah selama satu dekade terakhir. Morbiditas gagal ginjal juga cukup tinggi di mana pasien yang menjalani dialisis rata-rata 4 (empat) kondisi komorbid, 15 (lima belas) hari perawatan Rumah Sakit (RS)/tahun, dan kualitas hidup yang lebih rendah dari rata-rata populasi.2
Jumlah pasien dengan tingkat CKD yang lebih dini lebih besar namun mortalitas, morbiditas, hari perawatan RS/tahun, dan kualitas hidup belum diteliti lebih lanjut. Sebagian besar penderita tidak menyadari penyakit tersebut karena CKD asimtomatik sampai ia berkembang dengan signifikan.

Definisi dan klasifikasi
CKD menurut National Kidney Foundation (NKF) di Amerika Serikat didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau laju filtrasi glomerolus (GFR) < 60 mL/menit/1,73 m2 selama 3 bulan atau lebih. Kerusakan ginjal sendiri didefinisikan sebagai abnormalitas patologis atau marker (penanda) kerusakan, termasuk abnormalitas di uji darah atau urin ataupun hasil pencitraan.
Penyebab mayor CKD dikelompokkan sebagai berikut1
1. Glomerulopati primer dan sekunder
a. Glomerulosklerosis fokal dan segmental
b. Glomerulonefritis membranoproliferatif
c. Nefropati IgA
d. Nefropati membranosa
e. Nefropati diabetik
f. Amyloidosis
g. Glomerulonefritis pasca infeksi
h. Nefropati terkait HIV
i. Penyakit vaskular kolagen
j. Nefropati sel sabit
k. Glomerulonefritis membranoproliferatif terkait HIV
2. Nefritis tubulointersisial
a. Hipersensitivitas obat
b. Logam berat
c. Nefropati analgesik
d. Pielonefritis refluks/kronik
e. Idiopatik
3. Penyakit menurun
a. Penyakit ginjal polikistik
b. Penyakit medular kistik
c. Sindrom Alport
4. Nefropati obstruktif
a. Penyakit prostat
b. Nefrolithiasis
c. Tumor/fibrosis retroperitoneal
d. Kongenital
5. Penyakit vaskular
a. Nefrosklerosis hipertensif
b. Stenosis arteri renalis
CKD jarang reversibel dan mengarah pada penurunan progresif fungsi ginjal. Hal ini terjadi bahkan setelah kejadian yang memicu telah disingkirkan. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi nefron-nefron yang tersisa dengan hiperfiltrasi, dan GFR pada nefron-nefron tersebut berada pada tingkat supranormal. Adaptasi ini memberikan beban pada nefron-nefron tersisa dan menyebabkan sklerosis glomerular progresif dan fibrosis intersisial, yang menunjukkan bahwa hiperfiltrasi memperburuk fungsi ginjal.1
Definisi tidak dapat berdasarkan nilai kreatinin serum semata karena korelasi non-linear antara nilai kreatinin serum dengan GFR. Namun demikian prediksi GFR dapat dilakukan dengan emasukkan nilai kreatinin serum ke dalam persamaan tertentu dengan mempertimbangkan pula jenis kelamin, usia, ras, dan ukuran tubuh.
Literatur barat memiliki kecenderungan terkini adalah menggantikan persamaan yang terdahulu yaitu persamaan Cockcroft-Gault dengan persamaan dari studi Modification of Diet in Renal Disease (MDRD). Selain melibatkan lebih banyak variabel persamaan MDRD juga memprediksi GFR lebih baik daripada persamaan Cockcroft-Gault dengan bias dan dan sebaran yang lebih sedikit. Sebuah studi dalam 100 pasien menunjukkan bahwa persamaan Cockcroft-Gault memiliki bias –14% sampai dengan +25% dan 75% perkiraan termasuk dalam 30% nilai GFR yang diukur. Tiga penelitian mengenai persamaan MDRD menunjukkan bias –3% sampai dengan +3% dan 90% perkiraan termasuk dalam 30% nilai GFR yang diukur.2
Terdapat beberapa persamaan MDRD namun yang banyak diadopsi dalam Clinical Practice Guidelines adalah versi singkat dengan empat variabel, yaitu: GFR (ml/menit/1,73 m2) = 186 x (SCr)-1,154 x (Usia dalam tahun)-0,203 dengan penyesuaian dikalikan 0,742 untuk perempuan dan 1,21 untuk ras kulit hitam.3
Pengukuran klirens kreatinin menggunakan penampungan urin 24 jam tidak memberikan perkiraan GFR yang lebih tepat dibandingkan menggunakan persamaan.2

Klasifikasi CKD menurut NKF adalah sebagai berikut:
Tingkat Deskripsi GFR
(mL/menit/1,73 m2)
1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau menurun 90
2 Kerusakan ginjal dengan GFR menurun ringan 60-89
3 GFR menurun sedang 30-59
4 GFR menurun berat 15-29
5 Gagal ginjal < 15 (atau dialisis)
Temuan Klinis
Gejala dan tanda
Gejala CKD sering berkembang dengan perlahan dan non-spesifik. Gejala dan tanda sindrom klinis uremia dapat dilihat dalam tabel berikut:1
Sistem organ Gejala Tanda
Umum Kelelahan Tampak sakit sedang, sakit kronis
Kulit Puritus, mudah memar Pucat, echimosis, ekskoriasi, edema, xerosis
THT Rasa logam di lidah, epistaksis Napas uremik
Mata Konjungtiva pucat
Paru Sesak napas Rhonki, Efusi pleura
Kardiovaskular (pericarditis) Sesak saat beraktivitas, nyeri retrosternal saat inspirasi Hipertensi, kardiomegali, friction rub
Gastrointestinal Anoreksia, mual, muntah, cegukan
Genitourinaria Nokturia, impotensi Isostenuria
Neuromuskular Kaki yang tak bisa diam, mati rasa dan kram di kaki
Neurologis Iritabilitas, konsentrasi berkurang, libido turun Stupor, asterixis, myoclonus, neuropati perifer

Gejala toksisitas obat meningkat, terutama obat-obat yang dieliminasi ginjal, seiring dengan klirens ginjal yang memburuk.
Pada pasien dengan gagal ginjal penting untuk mengidentifikasi dan menemukan semua penyebab yang reversibel: infeksi saluran kemih, obstruksi, deplesi volume ekstraseluler, nefrotoksin, hipertensi, dan gagal jantung kongestif. Keberadaan salah satu dari yang tersebut dapat memperburuk CKD.
Temuan laboratorium
Diagnosis gagal ginjal ditegakkan dengan mendokumentasikan peningkatan BUN dan kreatinin serum. Bukti BUN dan kreatinin yang meningkat sebelumnya, urinalisis abnormal sebelumnya, kreatinin serum yang stabil tapi abnormal sebelumnya konsisten dengan proses yang kronik. Seperti yang telah disebutkan di atas pengukuran klirens kreatinin menggunakan penampungan urin 24 jam tidak memberikan perkiraan GFR yang lebih tepat dibandingkan menggunakan persamaan.(cpg) Jika terdapat tiga atau lebih pemeriksaan memplot kebalikan kreatinin serum (1/kreatinin serum) terhadap waktu dapat membantu perkiraan waktu menuju ESRD.1
Anemia, asidosis metabolik, hiperfosfatinemia, hipokalsemia, dan hiperkalsemia dapat terjadi dengan gagal ginjal akut maupun kronis. Urinalisis kan menunjukkan isosthenuria jika kemampuan tubulus untuk mengkonsentrasi dan mendilusi terganggu. Sedimen urin dapat berupa broad waxy casts sebagai akibat nefron yang terdilasi dan hipertrofik. Sedimen tersusun dari matriks gel glikoprotein yang mengandung material yang ditemukan dalam lumen tubular, seperti sel, debris, lemak, protein, dan kristal. Susunan silinder ini memberikan petunjuk diagnostik tipe penyakit ginjal, seperti glomerulonefritis, penyakit tubulointerstitial, dan gangguan vaskuler. Adanya silinder sel merah mengindikasikan kerusakan glomerular, silindersel putih mengindikasikan nefritis tubulointerstitial.1
Pencitraan
Temuan ginjal kecil ekogenik bilateral (<10 cm) menggunakan USG mendukung dianosis CKD, meskipun ginjal yang normal atau besar dapat pada gagal ginjal yang disebabkan penyakit ginjal polikistik dewasa, nefropati diabetik, nefropati terkait HIV, mieloma multipel, amiloidosis, dan uropati obstruktif. Bukti radiologis osteodistrofi ginjal merupakan temuan lain yang bermakna, karena perubahan pada x-ray karena hiperparatiroidisme sekunder tidak muncul kecuali jika tingkat paratiroid telah meningkat selama 1 tahun. Bukti reabsorbsi subperiosteal sepanjang sisi radial tulang-tulang jari mengkonfirmasi adanya hiperparatiroid.1

Komplikasi
Jumlah komplikasi CKD (sperti hipertensi, anemia, dan abnormalitas metabolisme kalsium dan fosfor) sebanding dengan penurunan GFR sesuai perjalanan penyakit. Oleh karena itu pasien dengan CKD tingkat 3 sebaiknya dievaluasi untuk anemia, malnutrisi penyakit tulang, neuropati, dan menurunnya kualitas hidup.1
Pada tabel berikut diperlihatkan hubungan jumlah komplikasi dengan GFR yang diperoleh pada Third National Health and Nutrition Examination Survey 1988–1994.

a. Hiperkalemia
Keseimbangan kalium umumnya akan tetap terjaga sampai GFR kurang dari 10-20 mL/menit. Namun demikian, keadaan tertentu memberikan risiko hiperkalemia pada GFR yang lebih tinggi. Penyebab endogen meliputi tipe apapun dari destruksi selular termasuk hemolisis dan trauma, kondisi hipereninemik hipoaldosteronism dan asidosis. Penyebab eksogen meliputi diet (buah jeruk dan pengganti garam yang mengandung kalium) dan obat-obatan yang mengurangi sekresi kalium (amilorid, triamteren, spironolakton, NSAID, ACE inhibitor atau menghambat uptake selular (beta-bloker).
b. Ketidak seimbangan asam-basa
Ginjal yang rusak tidak dapat mengekskresikan asam 1 meq/kgBB/hari yang dihasilkan metabolisme protein dari diet. Asidosis metabolik terutama karena hilangnya massa ginjal yang membatasi produksi amonia sehingga pandaparan H+ di urin berkurang.(current) Hiperkalemi juga dapat lebih mendepresi ekskresi amonium urea. Penyebab lain meliputi berkurangnya filtrasi asama yang dapat dititrasi seperti sulfat dan fosfat, berkurangnya resorbsi bikarbonat tubular proksimal, dan berkurangnya sekresi ion hidrogen tubulus ginjal. Meskipun pasien dengan CKD memiliki keseimbangan ion hidrogen positif, pH darah arteri dipertahankan pada 7,33-7,37 dan konsentrasi bikarbonat serum jarang turun di bawah 15 meq/liter. Ion hidrogen sisanya didaparkan oleh simpanan kalsium karbonat dan kalsium fosfat dalam tulang. Hal ini menyebabkan osteodistrofi ginjal akibat CKD.
c. Komplikasi kardiovaskular
Hipertensi—seiring dengan berkembanganya gagal ginjal, hipertensi karena adanya retensi garam dan air biasanya berkembang. Kondisi hipereninemik juga dapat memperberat hipertensi. Hipertensi adalah komplikasi tersering dari ESRD dan harus dikendalikan karena dapat memperparah kerusakan ginjal.
Perikarditis—dengan adanya uremia, perikarditis dapat muncul. Penyebabnya diyakini sebagai retensi toksin metabolik. Gejala-gejala meliputi nyeri dada dan demam. Pulsus paradoksus juga dapat muncul. Friction rub dapat terauskultasi tetapi kurangnya rub tidak menyingkirkan efusi perikardial yang signifikan. Rontgen thorax akan menunjukkan bayangan jantung yang membesar. Tamponade jantung dapat terjadi dengan tanda-tanda output jatung yang rendah, distensi vena jugular, dan paru-paru yang jernih saat auskultasi. Perikarditis merupakan indikasi mutlak dialisis.
Gagal jantung kongestif—pasien dengan ESRD cenderung memiliki kardiak output yang tinggi. Sering terjadi overload cairan ekstraselular, shunting darah melewati fistula arteriovena untuk dialisis, dan anemia. Sebagai tambahan hipertensi, abnormalitas tersebut menyebabkan meningkatnya kerja otot jantung dan kebutuhan oksigennya. Pasien dengan gagal ginjal kronis juga dapat memiliki tingkat atherosklerosis yang dipercepat. Faktor yang berperan dalam mengurangi katabolisme dan klirens lipoprotein mengandung apoB yang kaya trigliserida meliputi:
1. berkurangnya aktivitas enzim lipolitik
2. abnormalitas komposisi lipoprotein yang mencegah pengikatan ke reseptor yang sesuai
3. berkurangnya uptake lipoprotein dari sirkulasi
Pengikatan dan uptake lipoprotein dapat terpengaruh oleh peningkatan jumlah stress oksidan yang terlihat pada CKD sedemikian sehingga modifikasi oksidatif lipoprotein yang berakibat berkurangnya uptake oleh reseptor yang sesuai dan kemudian terjadi atherosklerosis. Ringkasnya pengikatan dan uptake lipoprotein mengandung apoB yang kaya trigliserida oleh hati dan di perifer menghasilkan peningkatan sirkulasi lipoprotein yang memiliki potensi aterogenik tersebut.4
Semua faktor ini menyumbang hipertrofi dan dilasi ventrikel kiri. Hormon paratiroid juga dapat berperan dalam patogenesis kardiomiopati sebagai akibat gagal ginjal.
d. Komplikasi hematologis
Anemia—anemia pada CKD bersifat normokrom normositer. Anemia disebabkan berkurangnya produksi eritropoetin yang menjadi signifikan jika GFR jatuh di bawah 20-25 mL/menit. Banyak pasien mengalami defisiensi besi. Hemolisis tingkat rendah dan hilangnya darah dari hemodialisis juga memberikan peran tambahan.
Koagulopati—koagulopati terutama disebabkan disfungsi trombosit. Hitung trombosit hanya sedikit meningkat tetapi waktu perdarahan diperpanjang. Trombosit menunjukkan daya adhesi dan agregasi yang abnormal. Secara klinis pasien dapat muncul petekiae, purpura, dan peningkatan kecenderuangan perdarahan selama operasi.
e. komplikasi neurologis
Ensefalopati uremik tidak terjadi sampai GFR jatuh di bawah 10-15 ml/menit. Hormon paratiroid diyakini sebagai salah satu toksin uremik. Saat tingkat kalsium melebihi 12-15 mg/dL, perubahan status mental sering mengikuti. Gejala dimulai dengan sulitnya berkonsentrasi dan dapat berkembang ke letargi, kebingungan, dan koma. Temuan pemeriksaan fisik meliputi nistagmus, kelemahan, asteriksis, dan hiperrefleks. Gejala dan tanda ini dapat membaik setelah dialisis.
Neuropati ditemui pada 65% pasien saat atau mendekati dialisis, tetapi tidak setelah GFR 10% dari normal. Neuropati perifer termanifestasi sebagai polineuropati sensorimotor (distribusi kaus tangan dan kaki) dan neuropati terisolasi atau terisolasi multipel. Pasien dapat memiliki kaki yang tak bisa diam, hilangnya refleks tendon dalam, dan rasa nyeri distal. Makin awal dimulai dialisis dapat mencegah neuropati perifer. Neuropati lain berakibat impotensi dan disfungsi otonom.
f. komplikasi metabolisme mineral
Kelainan kalsium, fosfor, dan tulang dikenal dengan osteodistrofi ginjal. Kelainan yang paling umum adalah osteitis fibrosa sistika—kelainan tulang karena hiperparatiroidisme sekunder. Pada saat GFR berkurang 25% di bawah normal, ekskresi fosfor terganggu. Hiperfosfatemia mengakibatkan ke hipokalsemia sehingga menstimulasi sekresi hormon paratiroid yang mempunyai efek fosfaturik dan menormalisasi fospor serum. Proses yang berkelanjutan ini mengakibatkan peningkatan hormon paratiroid yang tinggi sehingga terjadi turnover tulang yang tinggi dengan resorpsi tulang osteoklastik dan lesi subperiosteal. Secara klinis pasien mengalami nyeri tulang dan kelemahan otot proksimal. Kalsifikasi metastatik dapat terjadi. Secara radiologis lesi paling prominen di jari-jari dan sisi lateral kalvikula.
Osteomalasia merupakan salah satu bentuk osteodistrofi dengan turnover tulang yang rendah. Dengan memburuknya fungsi ginjal, terdapat pengurangan konversi ginjal dari 25-hidroksikolekalsiferol menjadi bentuk 1,25 dihidroksi. Penyerapan usus terhadap kalsium berkurang mengakibatkan hipokalsemia dan mineralisasi tulang yang abnormal.
g. komplikasi kelainan endokrin
Tingkat insulin di sirkulasi lebih tinggi karena perkurangnya klirens insulin oleh ginjal. Intoleransi glukosa dapat terjadi jika GFR kurang dari 10-20 mL/menit. Hal ini terutama karena resistensi insulin. Tingkat glukosa puasa dapat normal atau sedikit naik. Sehingga pasien dapat hiperglikemi atau hipoglikemi tergantung pada gangguan mana yang lebih dominan. Umumnya pasien diabetes memerlukan obat hipoglikemik dengan dosis yang dikurangi.
Berkurangnya libido dan impotensi umum dijumpai pada gagal ginjal kronis. Laki-laki memiliki level testosteron yang berkurang dan perempuan sering anovulatori.
Fungsi tiroid, hipofisis, dan adrenal sering normal meskipun abnormalitas pada kadar tiroksin, growth hormone, aldosteron dan kortisol.

Tata Laksana
Diet
Restriksi protein—beberapa penelitian menunjukkan restriksi protein memperlambat perkembangan ke ESRD. Efektivitas restriksi protein ini telah dibuktikan lewat beberapa penelitian3. Tabel berikut merupakan panduan diet restriksi protein
Tingkat CKD Protein, g/kgBB/hari Fosfor, g/kgBB/hari
1 dan 2 Restriksi protein umumnya tidak direkomendasikan Tanpa restriksi
3 0,6 g/kgBB/hari termasuk > 0,35 g/kgBB/hari PBT < 10
4 dan 5 0,6 g/kgBB/hari termasuk > 0,35 g/kgBB/hari protein nilai biologis tinggi atau
0,3 g/kgBB/hari dengan suplementasi asam amino esensial atau suplemen ketoanalog < 10

< 9
GFR <60mL/menit per 1,73 m2 (sindrom nefrotik) 0,8 g/kgBB/hari (plus 1 gram protein per gram proteinuria) atau
0,3 g/kgBB/hari dengan suplementasi asam amino esensial atau suplemen ketoanalog (plus 1 gram protein per gram proteinuria) < 12

< 9

Restriksi air dan garam—pada gagal ginjal yang lanjut, ginjal tidak dapat beradaptasi pada asupan natrium yang besar. Intake lebih besar dari 3-4gram/hari dapat menyebabkan edema, hipertensi, dan gagal jantung kongestif, sedangkan asupan kurang dari 1 gram/hari dapat mengakibatkan deplesi volume dan hipotensi. Untuk pasien non-dialisis 2 gram/hari merupakan rekomendasi awal. Masukan air perlu diperhitungkan dengan produksi urin dari pasien.
Restriksi kalium—diperlukan jika GFR di bawah 10-20 mL/menit. Pasien harus menerima daftar terinci mengenai kandungan kalium makanan dan membatasi asupan kurang dari 60-70 meq/hari dari normalnya 100 meq/hari.
Restriksi fosfor—tingkat fosfor harus dijaga di bawah 4,5 mg/dL, meskipun di bawah 5,5 mg/dL juga dapat diterima. Jika GFR lebih dari 10-20 mL/menit asupan fosfor harus dikurangi menjadi 5-10 mg/kg/hari. Di bawah GFR tersebut maka pengikat fosfor diperlukan.
Restriksi magnesium—semua laksatif dan antasid yang mengandung magnesium merupakan kontraindikasi relatif pada gagal ginjal.
Dialisis
Jika manajemen konservatif ESRD tidak adekuat maka hemodialisis, peritoneal dialisis, dan transplantasi ginjal merupakan terapi pilihan. Indikasi untuk dialisis adalah:
1. Gejala uremia seperti perikarditis, ensefalopati, atau koagulopati
2. Overload cairan yang tidak responsif dengan diuretik
3. Hiperkalemia refrakter
4. Asidosis metabolik berat (ph < 7,20)
5. Gejala neurologis seperti kejang atau neuropati
Menurut panduan tata laksana Dialysis Outcomes Quality Initiative (DOQI), dialisis harus dimulai bila pasien memiliki GFR 10 mL/menit atau kreatinin serum 8 mg/dL. Pasien diabetes sebaiknya memulai dialisis bila GFR mencapai 15 mL/menit atau kreatinin serum 6 mg/dL.

VERTIGO

VERTIGO



PENDAHULUAN
Vertigo adalah sensasi rotasi tanpa adanya perputaran yang sebenarnya (DASAR, RANDY, KATLEEN, RICHARD). Keluhan utama penderita yang demikian adalah bahwa ia merasa pusing. Rasa rotasi dari vertigo itu digambarkan oleh para penderita dengan cara yang berbeda-beda. Istilah yang dipergunakan berbeda pula. Istilah yang dipergunakan penderita seringkali dipengaruhi oleh pendidikan dan lingkungan penderita. (DASAR)
Vertigo akan timbul bila terdapat gangguan pada alat-alat vestibuler atau pada serabut-serabut yang menghubungkan alat/nuklei vestibuler dengan pusat-pusat di serebelum dan di korteks serebri. Vertigo ini akan timbul bila terdapat ketidakcocokan dalam informasi yang oleh susunan-susunan aferen disampaikan kepada kesadaran kita. Susunan aferen yang terpenting dalam hal ini adalah susunan vestibuler atau keseimbangan yang secara terus menerus menyampaikan impuls-impuls ke serebelum. (DASAR)
Namun demikian, struktur-struktur lain, seperti misalnya susunan optik dan susunan proprioseptif dalam hal ini pula memegang peranan yang sangat penting. (DASAR)

ANATOMI

EPIDEMIOLOGI
Dizziness dan vertigo adalah gejala-gejala yang paling sering menyebabkan pasien menemui dokter (sama seringnya seperti nyeri punggung dan sakit kepala). Insiden keseluruhan dizziness (pusing) dan vertigo adalah 5-10%, dan mencapai angka 40% pada pasien yang berusia di atas 40 tahun. Insiden menurun sekitar 25% pada pasien yang berusia di atas 65 tahun. (MOHAMED)
Sebuah penelitian terhadap pasien dengan dizziness atau vertigo dari 12 tempat perawatan klinis menunjukkan bahwa 50% pasien yang didiagnosa di IGD mengalami vestibulopati perifer seperti benign positional vertigo, vestibular neuritis, atau Maniere`s disease. Penyakit serebrovaskular bertanggung jawab atas 19% penyebab vertigo. Presinkop bertanggung jawab atas 16% kasus di IGD. (KATHLEEN)
Di Amerika Serikat dijumpai insiden BPPV sebanyak 64 kasus per 100.000 penduduk. Insiden BPPV dalam populasi umum kelihatannya lebih tinggi pada orang yang berusia di atas 40 tahun. BPPV tidak dianggap sebagai gangguan yang mengancam hidup, tetapi bisa sangat berbahaya karena menurut perkiraan sekitar 20% pasien terjatuh yang harus dirawat di rumah sakit karena cidera berat. (JOHN)



ETIOLOGI

DIAGNOSA
Walaupun cukup banyak penyakit yang dapat menimbulkan vertigo, namun dengan mengambil anamnesa dengan terarah dan dengan melakukan pemeriksaan neurologis dan otologis yang seksama, tidak jarang akan sampai juga pada diagnosa yang tepat. (DASAR)
Pemeriksa hendaknya segera berusaha untuk dapat membedakan apakah vertigo itu adalah suatu vertigo labirin ataukah vertigo sentral. Vertigo labirin adalah vertigo suatu vertigo yang berat, paroksismal dan episodis. Vertigo ini timbul beberapa menit hingga beberapa jam. Vertigo itu akan bertambah berat bila kepala digerakkan. Sewaktu bangkitan vertigo akan tampak pula nistagmus. Nistagmus itu memperlihatkan fase lambat dan cepat. Fase cepat memperlihatkan arah ke labirin yang terangsang. Nistagmus itu tidak akan tampak di luar bangkitan vertigo. Oleh karena kelainan pada vertigo labirin itu terletak di dalam telinga dalam, maka tidak jarang di kemudian hari akan timbul pula gangguan pendengaran. (DASAR)
Suatu vertigo sentral adalah suatu vertigo ringan. Vertigo ini dapat berlangsung secara terus menerus. Bahkan vertigo ini dapat berlangsung sampai berbulan-bulan. Pada vertigo ini akan tampak pula nistagmus. Namun nistagmus yang tampak tidak akan memperlihatkan arah tertentu. Oleh karena kelainan pada vertigo sentral ini adalah terletak di dalam susunan saraf pusat itu sendiri, maka pada vertigo ini tidaklah akan tampak adanya gangguan pendengaran.


PENATALAKSANAAN

Prinsip-Prinsip Pengobatan Umum
1. Obat-Obatan
Obat akan paling bermanfaat untuk mengobati vertigo akut yang berlangsung beberapa jam atau beberapa hari. Pada pasien dengan benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) obat akan kurang bermanfaat, karena episode vertigo biasanya kurang dari satu menit. Vertigo yang berlangsung lebih dari beberapa hari menunjukkan adanya cidera vertibuler yang permanen (seperti stroke), dan obat-obat yang sedang diberikan harus dihentikan agar otak dapat beradaptasi dengan input vestibuler baru. (RANDY)
Begitu banyak jenis obat yang digunakan untuk mengobati vertigo dan seringnya terjadi bersamaan dengan mual dan muntah. Obat-obat tersebut memperlihatkan berbagai kombinasi dari antagonisme reseptor asetilkolin, dopamin, dan histamin. The American Gastroenterological Association merekomendasikan antikolinergik dan antihistamin untuk pengobatan mual-mual yang berhubungan dengan vertigo. (RANDY)
Antihistamin yang sering diberikan adalah Meclizine (Antivert) dan Dimenhydrinate (Dramamine). Meclizine dapat menurunkan eksitabilitas labirin telinga dalam dan menghambat konduksi pada lintasan vestibuler telinga dalam dengan serebelum. Obat ini diberikan dengan dosis 25-50 mg PO setiap 4-6 jam sekali, tidak dianjurkan untuk anak-anak di bawah 12 tahun. Sedangkan anak di atas 12 tahun diberikan seperti dosis orang dewasa. Obat ini dapat meningkatkan toksisitas dari depresan SSP, dan neuroleptik. Hati-hati bila diberikan pada glukoma sudut tertutup, hipertropi prostat, dan obstruksi pilorus atau doudenum. Dimenhydrinate (Dramamine) melalui aktivitas antikolinergik sentral, mengurangi stimulasi vestibuler dan menekan fungsi labirin. Diberikan dengan dosis 50 mg PO/IM setiap 4-6 jam atau 100 mg supposutoria setiap 8 jam. Pada anak yang berumur 6-12 tahun diberikan 25-50 mg PO setiap 6-8 jam, tidak lebih 150 mg/hari. Anak berusia 2-6 tahun diberikan 12,5-25 mg setiap 6-8 jam, tidak lebih 75 mg/jari. Sedangkan anak di atas 12 tahun diberikan sama seperti orang dewasa. (MOHAMED, RANDY)
Antikolinergik. Obat ini diduga bekerja secara sental dengan menekan konduksi pada lintasan vestibuler – serebelum. Obat antikolinergik ini antara lain scopolamine (Isopto) dan Glycopyrrolate (Robinul). Scopolamine bekerja dengan menghambat kerja asetilkolin pada parasympathetic site pada otot polos, kelenjar sekretorius, dan SSP. Dosis yang diberikan adalah 0,6 mg PO setiap 4-6 jam atau 0,6 mg transdermal 3 kali sehari. Untuk anak-anak diberikan 6 mcg/kgBB per dosis IV/IM/SC, tidak lebih dari 0,3 mg per dosis. Glycopyrrolate diberikan 1-2 mg PO 2 – 3 kali sehari untuk orang dewasa sedangkan untuk anak-anak diberikan 40-100 mcg/kgBB per dosis PO 2 – 3 kali sehari. (MOHAMMED).
Phenothiazine. Obat ini efektif mengobati emesis, mungkin oleh karena efek-efeknya di dalam sistem mesolimbik dopaminergik. Yang termasuk ke dalam golongan obat ini antara lain promethazine (phenergan) dan Prochlorperazine (Compazine). Promethazine bekerja dengan menghambat reseptor-reseptor dopaminergik mesolimbik postsinap di dalam otak dan mengurangi stimulus ke sistem retikularis batang otak. Diberikan dengan dosis 25 atau 50 mg PO/IM/Per Rectal setiap 4-6 jam. Tidak dianjurkan untuk anak di bawah 2 tahun, namun anak di atas 2 tahun diberikan dengan dosis 0,25 – 1 mg/kgBB PO/IV/IM/Per rectal 4-6 kali per hari. Prochlorperazine diberikan dengan dosis 5-10 mg PO/IM setiap 6 jam atau 25 mg supp per rectal setiap 12 jam. Untuk anak-anak diberikan 2,5 mg PO atau per rectal setiap 8 jam atau 5 mg PO/per rectal setiap 12 jam, tidak lebih dari 15 mg/hari. (MOHAMED)
Benzodiazepine. Gamma-aminobutyric acid (GABA) adalah neurotransmitter inhibitor pada sistem vestibuler. Benzodiazepine meningkatkan kerja GABA pada sistem saraf pusat dan efektif dalam mengurangi vertigo dan ansietas. Dosis diazepam (valium) yang diberikan adalah 2 – 10 mg per oral atau IV setiap 4 sampai 8 jam. Sedangkan lorazepam diberikan 0,5 – 2 mg per oral atau IV setiap 4 – 8 jam. (MOHAMED, RANDY)
Sebuah penelitian oleh Marill dkk yang membandingkan pemakaian dimenhydrinate dan lorazepam intravena pada 74 pasien yang datang dengan vertigo akut. Para peneliti menyimpulkan bahwa dimenhydrinate memberikan penurunan yang lebih tinggi end point primer ketimbang lorazepam. Namun, perbedaan dalam memberikan perbaikan adalah sedikit. Sedasi lebih berat setelah pengobatan dengan lorazepam, yang menunda kepulangan pasien. Oleh karena ini, dimenhydrinate tampaknya menjadi obat intravena yang lebih disukai untuk mengatasi vertigo di IGD. (RICHARD)

2. Latihan Rahabilitasi Vestibuler
Latihan-latihan (excercise) rehabilitasi vestibuler sering dimasukkan dalam tatalaksana vertigo. Latihan-latihan ini melatih otak untuk menggunakan isyarat penglihatan (visual) dan proprioseptif alternatif untuk mempertahankan keseimbangan dan gaya berjalan (gait). Pasien perlu mengalami kembali vertigo sehingga otak dapat beradaptasi terhadap batasan baru fungsi vestibuler. Setelah stabilisasi akut pasien dengan vertigo, penggunaan obat-obatan supresan vestibuler harus dikurangi guna membantu adaptasi otak dengan input vestibuler yang baru. (RANDY)
Sebuah penelitian kontrol random terhadap 143 pasien dengan pusing dan vertigo menunjukkan bahwa latihan rehabilitasi vestibuler dapat memperbaiki nistagmus, kontrol postural, pusing yang dicetus oleh gerakan, dan indeks-indeks subjektif gejala-gejala dan distress. Sebuah penelitian lain menilai efektivitas rehabilitasi vestibuler yang dilakukan di rumah pada pasien-pasien dengan vertigo kronis dengan etiologi vestibuler perifer. Penelitian ini menunjukkan pengurangan vertigo yang signifikan dan bertambahnya kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan orang lain. (RANDY)
Sebuah penelitian kasus retrospektif menilai efikasi terapi fisik pada pasien yang menderita gangguan vestibuler dan keseimbangan dengan atau tanpa riwayat migren. Kedua kelompok menunjukkan pengurangan pusing dan perbaikan keseimbangan dan cara berjalan (gait) yang signifikan. Latihan-latihan vestibuler juga telah dibuktikan memperbaiki kontrol postural selama bulan pertama setelah lesi vestibuler unilateral akut yang berasal dari vestibular neuronitis. (RANDY)


Pengobatan Terhadap Gangguan-gangguan Spesifik

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)
Benign paroxysmal positional vertigo disebabkan oleh debris kalsium di dalam kanalis semisirkularis (canalithiasis), biasanya pada kanalis posterior. Umumnya tidak dianjurkan obat-obatan untuk mengobati gangguan ini. (RANDY)
Vertigo ini membaik dengan manuver rotasi kepala yang akan membawa deposit kalsium yang bergerak bebas kembali ke dalam vestibulum. Manuver-manuver tersebut termasuk prosedur repositioning dan Epley manuver dan Epley manuver modifikasi (Gambar 2). Epley manuver modifikasi dapat dilakukan di rumah. (RANDY)



























Gambar 2. Epley manuver. Pasien duduk di atas meja pemeriksaan, dengan mata terbuka dan kepala diputar 45o ke kanan (A). Dokter menahan kepala pasien begitu pasien berbaring dengan cepat dari duduknya menjadi posisi supine, dan kepala pasien ditahan 20o dari meja periksa (B). Dokter memutar kepala pasien 90o ke sisi kiri. Pasien tetap dalam posisi tersebut selama 30 detik (C). Dokter memutar lagi kepala pasien sejauh 90o ke sisi kiri sambil pasien memutar tubuhnya 90o dengan arah yang sama. Pasien ditahan dalam posisi ini selama 30 detik (D). Pasien bangtun dan duduk di sisi kiri meja periksa (E). Prosedur ini diulangi pada posisi sebelah kanan sampai gejala-gejalanya berkurang. (RANDY)


Pasien perlu dipertahankan tetap tegak selama 24 jam setelah canalith repotioning untuk mencegah deposit kalsium kembali ke kanalis-kanalis semisirkularis, walaupun cara ini tidak dianjurkan secara umum. Kontraindikasi dari prosedur canalith repositioning adalah stenosis arteri karotis berat, penyakit jantung yang tidak stabil, dan penyakit pada leher yang berat seperti cervical spondylitis dengan mielopati atau rheumatoid arthritis lanjut.
Canalith repositioning telah terbukti efektif pada pasien dengan BPPV. Laporan awal mengenai Epley manuver menunjukkan angka keberhasilan 80% setelah sekali pengobatan dan tingkat kesuksesan 100% dengan pengobatan ulangan. Dua buah penelitian kontrol random melaporkan tingkat kesuksesan 50 – 90 persen. Sebuah tinjauan sistematik Cochrane menyimpulkan bahwa Epley manuver adalah pengobatan aman yang mungkin menghasilkan perbaikan gejala vertigo dan konversi dari Dix-Hallpike manuver positif menjadi negatif. Sebuah penelitian terhadap 54 pasien dengan BPPV menemukan bahwa Epley manuver modifikasi efektif menghilangkan gejala-gejala vertigo setelah satu minggu pengobatan. Namun, penelitian ini telah dikritik karena randomisasi-nya tidak adekuat dan kurangnya penilai hasil (pasien melaporkan sendiri gejala-gejalanya). (RANDY)
Sebuah penelitian mengenai efek jangka panjang prosedur canalith repositioning pada pasien dengan BPPV melaporkan angka rekurensi sekitar 15 persen per tahun. Sebuah penelitian lain melaporkan rekurensi 20% saat 20 bulan dan 37% saat 60 bulan. (RANDY)

Vestibular Neuronitis dan Labytinthitis
Inflamasi akut pada nervus vestibularis adalah penyebab tersering vertigo akut yang lama. Bila labirin terkena bisa menyebabkan tuli. Vertigo biasanya berlangsung selama beberapa hari dan hilang dalam beberapa minggu. Banyak kasus vestibular neuronitis atau labyrinthitis berhubungan dengan infeksi viral yang sembuh sendiri, walaupun bukti spesifik terhadap etiologi viral jarang teridentifikasi.
Pengobatan berfokus pada pengurangan gejala dengan menggunakan obat-obat supresan vestibuler, diikuti dengan latihan-latihan vestibuler. Kompensasi vestibuler terjadi lebih cepat dan lebih komplit jika pasien memulai latihan rehabilitasi vestibiler dua kali sehari segera setelah vertigo akut berkurang dengan obat.

Maniere`s Disease
Maniere`s disease (atau endolymphatic hydrops) datang dengan vertigo, tinnitus, tuli sensorineural frekuensi rendah yang hilang-timbul, dan rasa penuh di dalam telinga. Pada gangguan ini, filtrasi dan ekskresi endolimf yang terganggu di dalam telinga tengah menyebabkan distensi kompartmen endolimfatik.

Treatment lowers endolymphatic pressure. Although a low-salt diet (less than 1 to 2 g of salt per day) and diuretics (most commonly the combination of hydrochlorothiazide and triamterene [Dyazide]) often reduce the vertigo, these measures are less effective in treating hearing loss and tinnitus.23,24 Note, however, that the authors of a systematic review25 of treatments for Ménière's disease criticized the statistical analysis of the frequency of vertigo episodes in one of the studies.23
In rare cases, surgical intervention, such as decompression with an endolymphatic shunt or cochleosacculotomy, may be required when Ménière's disease is resistant to treatment with diet and diuretics. Ablation of the vestibular hair cells with intratympanic injection of gentamicin also may be effective.26 Surgery usually is reserved for patients with severe, refractory Ménière's disease.
VASCULAR ISCHEMIA
The sudden onset of vertigo in a patient with additional neurologic symptoms (e.g., diplopia, dysarthria, dysphagia, ataxia, weakness) suggests the presence of vascular ischemia.
Treatment of transient ischemic attack and stroke includes preventing future events through blood pressure control, cholesterol-level lowering, smoking cessation, inhibition of platelet function (e.g., aspirin, clopidogrel [Plavix], aspirin-dipyridamole [Aggrenox]) and, possibly, anticoagulation (warfarin [Coumadin]).
Acute vertigo caused by a cerebellar or brainstem stroke is treated with vestibular suppressant medication and minimal head movement for the first day. As soon as tolerated, medication should be tapered, and vestibular rehabilitation exercises should be initiated.8,10
Placement of vertebrobasilar stents may be considered in a patient with symptomatic critical vertebral artery stenosis that is refractory to medical management.27 Rarely, infarction or hemorrhage in the cerebellum or brainstem may present with acute vertigo as the only neurologic symptom.28 Given the risk of brainstem compression with a large cerebellar stroke, neurosurgical decompression may be indicated.
MIGRAINE HEADACHES
Epidemiologic evidence shows a strong association between vertigo and migraine.29 Diagnostic criteria have been proposed to provide a more specific definition of vertiginous migraine.29 Diagnostic accuracy is important because vertiginous migraine may respond better to migraine treatments than to other interventions.
One retrospective review30 found that migraine treatments were effective in about 90 percent of patients with migraine-associated vertigo. Treatments included dietary changes (i.e., reduction or elimination of aspartame, chocolate, caffeine, or alcohol), lifestyle changes (i.e., exercise, stress reduction, improvements in sleep patterns), vestibular rehabilitation exercises, and medications (e.g., benzodiazepines, tricyclic antidepressants, beta blockers, selective serotonin reuptake inhibitors [SSRIs], calcium channel blockers, antiemetics).
Another retrospective chart review31 demonstrated that stepwise treatment of migraine-associated dizziness (vertigo or dysequilibrium) resulted in complete or dramatic reduction of symptoms in 58 of 81 patients (72 percent). The stepwise treatment consisted of initiating dietary changes, then adding nortriptyline (Pamelor) if needed, then adding atenolol or a calcium channel blocker if needed and, finally, consultation with a neurologist if needed.
A survey32 of 53 patients with migraine at a university-based headache clinic found that the efficacy of medications in treating migraine-associated dizziness was directly correlated with their ability to alleviate migraines. This correlation was strongest in patients with vertigo who were receiving migraine-abortive medications (most significantly, sumatriptan [Imitrex]).
PSYCHIATRIC DISORDERS
Vertigo commonly is associated with anxiety disorders (e.g., panic disorder, generalized anxiety disorder) and, less frequently, depression.33,34 Hyperventilation usually occurs and can result in hypocapnia with reversible cerebral vasoconstriction. Hyperventilation and hypocapnia may be accompanied by dyspnea, chest pain, palpitations, or paresthesias.
Subclinical vestibular dysfunction has been measured in patients with anxiety disorders or depression, most commonly panic disorder with moderate to severe agoraphobia.33 Conversely, classic vertigo resulting from more ostensible vestibular pathology usually induces severe anxiety symptoms and thus can be hard to distinguish from a primary anxiety disorder.
Vestibular suppressants and benzodiazepines most frequently are used to treat dizziness that is associated with anxiety disorder, but these medications provide only transient or inadequate relief.34 SSRIs such as citalopram (Celexa), fluoxetine (Prozac), paroxetine (Paxil), and sertraline (Zoloft) may provide better relief.
A review34 of 68 patients from a research database at a university neurotology center evaluated open-label SSRI treatment of dizziness associated with psychiatric symptoms (with or without neurotologic illness). Significant improvement of dizziness occurred in 38 patients (63 percent); however, 15 (25 percent) of the 60 patients experienced intolerable side effects. Because some side effects of SSRIs (e.g., nausea, sedation, dizziness) may be more intolerable for patients who have dizziness in association with psychiatric symptoms, slow titration should be used.34
Other medications that are effective in patients with anxiety disorders or depression, such as norepinephrine-serotonin reuptake inhibitors (e.g., venlafaxine [Effexor]) and tricyclic antidepressants (e.g., nortriptyline, desipramine [Norpramin]), have not been evaluated in patients with concomitant vertigo.
Nonpharmacologic treatments for anxiety disorders, such as cognitive behavior therapy, may be helpful. A small prospective RCT of vestibular rehabilitation combined with cognitive behavior therapy to reduce anxiety in older patients with dizziness showed that this combination of treatments improved gait speed and dizziness symptoms but did not improve anxiety or depression.35
PHYSIOLOGIC VERTIGO
Motion sickness9 is attributed to an incongruence in the sensory input from the vestibular, visual, and somatosensory systems. Motion sickness occurs while riding in a car, boat, or airplane if the vestibular and somatosensory systems sense movement, but the visual system does not.
On the first sensation of motion sickness, efforts should be made to bring vestibular, visual, and somatosensory input back in congruence. For example, a person on a boat who starts to feel seasick should immediately watch the horizon. Seasickness can be prevented by applying a scopolamine patch (Transderm-Scop) behind one ear at least four hours before boating

BELL PALSY

Bell Palsy

Pendahuluan

Latar belakang: Bell palsy merupakan satu dari gangguan neurologis dari nervus kranialis yang paling sering muncul. Ia merupakan suatu paresis atau paralisis fasialis perifer unilateral yang datang tiba-tiba tanpa penyebab yang dapat dikenali. Sindroma paralisis fasialis idiopatik pertama kali dijelaskan oleh Sir Charles Bell seabad yang lalu, meskipun masih terdapat kontroversi dalam hal etiologi dan penatalaksanaannya. Bell palsy tetap menjadi penyebab paralisis fasialis tersering di penjuru dunia.
Penting sekali untuk mempertimbangkan Bel Palsy sebagai suatu diagnosa banding. Keadaan penyakit atau kondisi lainnya yang tampil dengan facial palsy sering salah didiagnosis sebagai suatu idiopatik.
Pasien dengan Bell Palsy sering datang ke IGD sebelum menemui pekerja perawat kesehatan lain. Tampilan wajah yang mengalami distorsi dan kerusakan fungsional secara tiba-tiba merupakan kekuatan yang mengendalikan pasien untuk mendapatkan evaluasi kegawatdaruratan. Pasien sering mengkhawatirkan jika mereka mengalami serangan stroke atau mempunyai suatu tumor dan kalau saja tampilan distorsi fasial mereka akan permanen.
Peranan dokter kegawatdaruratan terdiri dari hal-hal berikut:
• Singkirkan penyebab lain dari paralisis fasialis.
• Mulailah terapi yang sesuai.
• Lindungi mata.
• Aturlah perawatan follow-up medis yang sesuai.

Patofisiologi: Patofisiologi pasti masih belum diketahui; masih merupakan wilayah perdebatan yang belum terselesaikan. Teori yang cukup popular menyatakan adanya inflamasi pada nervus fasialis. Selama proses ini, nervus mengalami pertambahan diameter dan menjadi tertekan sepanjang perjalanannya melalui tulang temporal.
Nervus fasialis berjalan melalui bagian dari tulang temporal yang sering disebut dengan kanalis fasialis. Bagian pertama dari kanalis fasialis (segmen labirin) menyempit. Pintu masuk yang kecil (berdiameter sekitar 0,66 mm) pada segmen ini dikenal sebagai meatal foramen.
Nervus fasialis karena jalan yang sempit membuatnya melekat pada jalur perjalanannya melalui kanalis fasialis. Masuk akal jika berbagai proses inflamasi, demyelinisasi, iskemik atau kompresif dapat mengganggu hantaran saraf pada wilayah anatomi yang unik ini.

Anatomi
Nervus fasialis (nervus kranialis ke 7) mempunyai 2 komponen. Bagian terbesar mengandung serabut eferen yang merangsang otot-otot ekspresi fasial. Bagian yang lebih kecil mengandung serabut perasa dari dua pertiga anterior lidah, serabut sekremotorik kelenjar lakrimal dan saliva, serta sejumlah serabut nyeri.

Jalur Perjalanan
Jalur perjalanan nervus fasialis sangatlah kompleks; hal inilah mungkin menjadi alasan mengapa saraf ini rentan terhadap trauma. Dua bagian dari nervus fasialis meninggalkan otak pada sudut serebelopontin, melintasi fossa kranial posterior, menyelam ke dalam meatus akustikus internal, melalui kanalis fasialis di tulang temporal, lalu berbelok tajam ke belakang, dimana mereka berjalan di belakang telinga tengah dan keluar dari kranium pada foramen stilomastoideus. Dari sini, nervus fasial membagi dua kelenjar parotis, dan kemudian cabang terminalnya keluar dari pleksus parotis untuk mensuplai otot-otot ekspresi fasial.

Frekuensi:
• Di AS: Insiden Bell palsy di Amerika Serikat berkisar 23 kasus per 100.000 orang. Keadaan ini mengenai sedikitnya 1 dari 65 orang dalam fase kehidupannya.
• Internasional: Insiden bernilai sama seperti di AS.

Mortalitas/Morbiditas: Bell palsy dapat menyebabkan gangguan estetika, fungsional dan psikologis pada pasien yang memiliki residu disfungsi saraf selama fase pemulihannya atau pada pasien dengan kesembuhan tidak sempurna.
• Paralisis parsial
• Sinkinesis motorik (gerakan involunter yang menyertai gerakan volunter)
• Sinkinesis otonom (lakrimasi involunter setelah suatu gerakan otot volunter)
Ras: Insiden Bell palsy sedikit lebih tinggi pada individu dengan garis keturunan Jepang.
Jenis Kelamin: Tidak terdapat perbedaan dalam hal distribusi jenis kelamin pada pasien dengan bell palsy.
Usia: Usia mempengaruhi kemungkinan kontraksi Bell palsy. Insiden paling tinggi pada individu berusia 15-45 tahun. Bell palsy lebih jarang terjadi pada individu yang berusia dibawah 15 tahun dan pada individu diatas 60 tahun.

KLINIS
Riwayat: Sebagian besar pasien yang datang ke IGD curiga bahwa diri mereka menderita stroke atau mempunyai tumor intrakranial. Keluhan yang paling sering diberikan adalah kelemahan satu sisi wajah.
• Nyeri belakang telinga: Hampir 50% pasien mengalami nyeri di regio mastoid. Rasa nyeri sering terjadi secara simultan dengan paresis, tetapi mendahului paresis dalam waktu 2-3 hari pada kurang lebih 25% pasien.
• Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluhkan aliran air mata. Hal ini karena penurunan fungsi orbikularis okuli dalam mentransportasi air mata. Lebih sedikit air mata yang sampai ke sakus lakrimal. Produksi air mata tidak mengalami akselerasi.
• Perubahan rasa: Meskipun hanya sepertiga pasien yang mengeluhkan gangguan rasa, empat perlima pasien menunjukkan adanya penurunan sensasi rasa. Hal ini dapat dijelaskan oleh keterlibatan lidah yang hanya setengah bagian saja.
• Mata kering
• Hiperakusis: Kerusakan toleransi derajat kebisingan tertentu karena peningkatan iritabilitas terhadap mekanisme sensori neural.

Fisik: Temuan-temuan paralisis fasialis mudah dikenali pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan yang komplit dan seksama mampu menyingkirkan penyebab paralisis fasial yang mungkin. Dapat dipertimbangkan adanya etiologi lain jika seluruh cabang nervus fasialis tidak terkena.
• Definisi Bell palsy klasik menyatakan adanya keterlibatan nervus fasial mononeural, tanpa adanya kemungkinan nervus kranial lainnya terkena. Nervus fasialis merupakan satu-satunya nervus kranial yang memperlihatkan temuan-temuan yang jelas pada pemeriksaan fisik karena perjalanan anatominya dari otak menuju wajah bagian lateral yang unik.
• Perlu diingat bahwasanya kelemahan dan atau paralisis dari keterlibatan nervus fasialis bermanifestasi sebagai kelemahan dari seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang terkena. Pusatkan perhatian pada gerakan volunter bagian atas wajah sisi yang terkena.
• Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (upper motor neuron; diatas fasial nukleus pada pons), sepertiga bagian atas wajah tidak terkena sedangkan dua pertiga bagian bawah mengalami paralisis. Otot-otot orbikularis, frontalis dan otot korugator dipersarafi secara bilateral, yang menjelaskan pola paralisis fasial.
• Uji nervus kranial lainnya; dengan hasil pemeriksaan yang seharusnya normal.
• Membran tymphani mestinya tidak mengalami inflamasi; adanya infeksi meningkatkan kemungkinan adanya komplikasi otitis media.

Penyebab: “Semua yang bersinar belum tentu emas” (William Shakespeare)
Etiologi Bell palsy masih belum jelas, meskipun telah diusulkan adanya penyebab vaskular, infeksius, genetik dan immunologis. Pasien dengan penyakit atau kondisi lainnya terkadang mengembangkan palsy nervus fasial perifer, tetapi mereka tidak diklasifikasikan sebagai Bell palsy (lihat diagnosa banding).
• Infeksi virus: Data epidemiologis dan klinis memberikan kepercayaan adanya sumber yang berasal dari infeksi, yang memicu respon immunologis, menghasilkan kerusakan nervus fasial. Daftar patogen yang berperan meliputi virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1); virus herpes simpleks tipe 2 (HSV-2); human herpes virus(HHV); virus varicella zoster (VZV); Mycoplasma pneumoniae; Borrelia burgdorferi; influenza B; adenovirus; coxsackievirus; virus Epstein-Barr; hepatitis A, B dan C; cytomegalovirus (CMV); dan virus rubella.
• Kehamilan: Bell palsy jarang terjadi pada kehamilan; akan tetapi, prognosisnya memburuk secara signifikan pada wanita hamil dengan Bell palsy dibandingkan wanita yang tidak hamil dengan Bell palsy.
• Genetika: Angka kekambuhan (4,5-15%) dan insiden familial (4,1%) telah ditunjukkan dari berbagai penelitian. Genetika mungkin memiliki peranan dalam Bell palsy, tetapi masih belum jelas faktor manakah yang diturunkan.

DIAGNOSA BANDING

Diabetes Mellitus, tipe 1
Diabetes Mellitus tipe 2
Fraktur mandibula
Herpes zoster
Sklerosis multipel
Penyakit Tick-Borne, Lyme

Masalah lain yang juga dipertimbangkan:
Herpes zoster
Kehamilan (terutama pada trimester ketiga)
Polineuritis
Otitis akut
Otitis kronis
Fraktur tulang temporal
Mononukleosis infeksiosa
Tumor parotis
Sarkoidosis
Kolesteatoma telinga tengah
Aneurisma vertebra, arteri basilaris, atau arteri karotis
Meningitis karsinomatosa
Trauma fasial (tumpul, tusuk, iatrogenik)
Menengitis leukemik
Lepra
Sindroma Melkersson-Rosenthal
Pembedahan telinga tengah
Osteomyelitis dasar tengkorak
Tumor dasar tengkorak

Studi Laboratorium:
• Tidak terdapat uji laboratorium yang spesifik untuk memastikan diagnosis Bell palsy. Seting klinis menentukan uji apa yang dapat memberikan nilai. Penyebab lainnya yang mungkin dalam diagnosa banding dapat dipastikan atau dicurigai berdasarkan uji laboratorium diagnostik berikut ini:
o Hitung sel darah lengkap
o Laju sedimentasi eritrosit
o Studi fungsi thyroid
o Titer Lyme
o Kadar glukosa serum
o Rapid plasma reagin (RPR) atau uji VRDL
o HIV
o Analisa cairan serebrospinal
o Titer IgM, IgG, dan IgA terhadap CMV, rubella, HSV, hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, VZV, M Pneumoniae, dan B burgdorferi.

Studi Imaji:
• Bell palsy tetap merupakan suatu diagnosis klinis. Studi imaji tidak diindikasikan di IGD. Dalam menyingkirkan penyebab lain dari Bell palsy mungkin memerlukan satu dari studi imaji berikut tergantung pada seting klinis.
o CT scan wajah atau radiografi biasa: Dilakukan untuk menyingkirkan adanya fraktur atau metastase tulang.
o CT scan diindikasikan jika didiagnosa banding stroke, keterlibatan SSP pada AIDS.
o MRI: Jika terdapat kecurigaan adanya neoplasma tulang temporal, otak, kelenjar parotis, atau struktur lainnya, atau untuk mengevaluasi adanya sklerosis multipel, maka MRI merupakan metode unggulan dalam studi imaji. Perjalanan nervus fasial melalui regio intratemporal dan ekstratemporal dari otak ke otot-otot fasial dan kelenjar dapat diikuti dengan MRI. MRI juga dipertimbangkan sebagai pengganti CT-scan.

Test lainnya:
• Elektrodiagnosis nervus fasial: Studi ini menilai fungsi nervus fasial. Test ini jarang dilakukan pada basis kegawatdaruratan.
o Elektromyografi (EMG) dan kecepatan hantaran saraf menghasilkan grafik bacaan aliran listrik yang ditampilkan melalui menstimulasi nervus fasial dan merekam eksitabilitas otot-otot fasial yang disuplainya. Perbandingan terhadap sisi kontralateral membantu menentukan perluasan perlukaan saraf dan mempunyai implikasi prognostik. Uji ini bukan merupakan bagian dari tindakan akut.
o Pada uji eksitabilitas saraf, dapat ditentukan nilai ambang rangsang elektrik yang menghasilkan kedutan otot yang dapat dilihat.
o Elektroneurografi (ENoG) membandingkan potensial pembangkit pada sisi yang mengalami paresis dengan sisi yang sehat.

TERAPI

Perawatan di IGD: Terapi utama pasien dengan Bell palsy di IGD adalah manajemen farmakologis. Perawatan lainnya difokuskan pada penenangan, instruksi perawatan mata, dan perawatan follow-up yang sesuai.
• Steroid
o Terapi Bell palsy dengan steroid masih kontroversial. Berbagai artikel-artikel penelitian telah bercerita mengenai manfaat atau ketidakmanfaatan steroid dalam hal terapi pasien dengan Bell palsy.
o Peneliti cenderung mengandalkan steroid sebagai perangkat mengoptimalkan outcome. Pada saat diputuskan penggunaan steroid, konsensus segera dimulai.
• Agen-agen anti viral: Meskipun penelitian dalam mengevaluasi keefektifitasan obat-obat antiviral pada Bell palsy masih belum mencukupi, sebagian besar ahli meyakini adanya etiologi virus. Oleh karena itu, agen-agen antiviral cenderung merupakan pilihan yang logis pada manajemen farmakologis dan sering direkomendasikan.
• Perawatan mata: Mata sering tidak terlindungi pada pasien Bell palsy. Hal ini menyebabkan mata beresiko mengalami kekeringan kornea dan paparan benda asing. Tatalaksana dengan pengganti air mata, pelumas dan pelindung mata.
o Air mata buatan: Gunakan ini selama masa sadar untuk menggantikan lakrimasi yang hilang.
o Pelumas digunakan saat tidur: Mereka dapat digunakan selama masa sadar jika air mata buatan tidak mampu menyedikan perlindungan yang adekuat. Satu kerugiannya adalah pandangan kabur.
o Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan menurunkan pengeringan dengan menurunkan paparan udara langsung terhadap kornea.

Konsultasi: Dokter-dokter pada pusat pelayanan kesehatan primer pasien atau konsultan hendaknya menyediakan perawatan follow up secara erat. Hendaknya didokumentasikan grafik kemajuan kesembuhan pasien.
Masih terdapat berbagai pendapat menyangkut rujukan ke spesialis. Beberapa indikasi rujukan secara spesifik adalah sebagai berikut:
• Ahli saraf: Jika dikenali tanda-tanda neurologis lain dan rujukan diindikasikan jika terdapat tampilan Bell palsy yang tidak khas.
• Ahli mata: Untuk tiap nyeri okular atau temuan-temuan abnormal pada pemeriksaan fisik mata, pasien hendaknya dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan lebih alasan.
• Ahli THT: Pada pasien dengan paralisis persisten, perpanjangan kelemahan otot-otot fasial, atau kelemahan rekuren disarankan untuk dirujuk.
• Ahli bedah: Pembedahan untuk dekompresi nervus fasial terkadang disarankan pada pasien dengan Bell palsy. Pasien-pasien dengan prognosis buruk yang diidentifikasi dengan pengujian nervus fasial atau paralisis persisten cenderung mendapatkan manfaat dari intervensi bedah.

MEDIKASI

Karena sebagian besar pasien dapat sembuh tanpa medikasi, dokter mampu menatalaksana pasien tanpa merepkan medikasi. Rencana penungguan yang dipantau dengan erat merupakan suatu pilihan; akan tetapi, beberapa individu dengan Bell palsy tidak sembuh sempurna. Medikasi yang terdaftar dibawah ini mempunyai uji-uji klinis yang mendukung dan memperselisihkan keefektifitasannya.

Kategori Obat: Kortikosteroid—Memiliki sifat anti inflamasi dan menyebabkan efek metabolik yang dalam dan bervariasi. Memodifikasi respon imun tubuh untuk terhadap berbagai rangsangan.

Nama Obat Prednison (Deltason, Orason, Sterapred) – Kesuksesan farmakologis mungkin dihasilkan dari efek antiinflamasi, yang kiranya mengurangi kompresi nervus fasial di kanalis fasialis.
Dosis Dewasa 1 mg/kg/hr PO selama 7 hari
Dosis Pediatri Diberikan sebagaimana pada orang dewasa
Kontraindikasi Riwayat hipersensitifitas; infeksi tuberkular kulit dan infeksi jaringan penghubung karena visur atau jamur; penyakit ulkus peptikum; disfungsi hepar; penyakit GI
Interaksi Pemberian bersama dengan estrogen dapat menurunkan klirens prednison; penggunaan disertai dengan digoksin dapat menyebabkan toksisitas digitalis karena hipokalemia; fenobartital, fenitoin dan rifampin dapat meningkatkan metabolisme glukokortikoid (pertimbangkan meningkatkan dosis pemeliharaan); pemberian bersama dengan diuretik memerlukan pengawasan akan kejadian hipokalemia
Kehamilan B – Biasanya aman tetapi manfaatnya harus melebihi resikonya.
Kewaspadaan Penghentian glukokortikoid secara tiba-tiba dapat menyebabkan krisis adrenal; dalam penggunaan glukokortikoid dapat terjadi infeksi, penekanan pertumbuhan, myasthenia gravis, psikosis, euforia, osteoporosis, hipokalemia, penyakit ulkus peptikum, myopati, osteonekrosis, edema, hiperglikemia, krisis adrenal

Kategori Obat: Antivirus – Infeksi herpes simpleks mungkin merupakan penyebab yang sering dari Bell palsy. Asiklovir merupakan terapi yang paling sering digunakan, tetapi agen antiviral lainnya juga dapat digunakan.


Nama Obat Asiklovir (Zovirax) – Telah menunjukkan adanya aktivitas inhibitor langsung terhadap HSV-1 maupun HSV-2, dan sel terinfeksi secara selektif dapat menerimanya
Dosis Dewasa 4000 mg/24 jam PO selama 7-10 hari
Dosis Pediatri <2 tahun: tidak disarankan
>2 tahun: 1000 mg PO 4 kali sehari selama 10 hari
Kontraindikasi Riwayat hipersensitifitas
Interaksi Penggunaan berurutan dengan probenecid atau zidovudin memperlama waktu paruh dan meningkatkan toksisitas SSP terhadap asiklovir
Kehamilan C – Keamanan dalam penggunaan saat kehamilan belum ditetapkan
Kewaspadaan Waspada pada gagal ginjal atau saat menggunakan obat-obat nefrotoksik

FOLLOW-UP

Pasien rawat jalan:
• Pertimbangkan pemberian prednison dengan dosis inisial 1 mg/kg/hr
o Prednison merupakan obat poten dengan resiko efek samping yang tinggi. Bukti manfaatnya masih tetap diteliti secara seksama dalam literatur. Hingga keefektifitasannya jelas, hendaknya jangan diperlakukan sebagai perawatan standart.
o Dengan tanpa kontraindikasi dan jika dokter memilih untuk memberikan steroid, pilihan terbaik adalah prednison dosis tinggi, segera mungkin diberikan dalam perjalanan penyakit. (dosis perlu diturunkan pada hari ke 5 hingga 5 mg dalam dua kali sehari selama 5 hari)
• Berikan asiklovir (Zovirax) 800 mg PO 5 kali/hr selama 10 hari; 20 mg/kg pada pasien dibawah 2 tahun. Bukti terkini mendukung HSV sebagai perkiraan penyebab pada lebih dari 70% kasus Bell palsy.
Komplikasi:
• Sebagian besar pasien Bell palsy sembuh tanpa adanya deformitas yang dapat terlihat secara kosmetik; akan tetapi, sekitar 5% meninggalkan derajat sekuele yang tinggi.
• Regenerasi motorik inkomplit
o Bagian terluas nervus fasialis mengganggu serabut eferen yang menstimulasi otot-otot ekspresi fasial. Jika bagian motorik mencapai regenerasi suboptimal, paresis dari seluruh atau beberapa dari hasil-hasil otot fasial ini.
o Bermanifestasi sebagai (1) Inkompetensi oral, (2) epifora (airmata yang berlebihan), dan (3) obstruksi nasal.
• Regenerasi sensorik inkomplit
o Dapat terjadi dysgeusia (kerusakan indera perasa).
o Dapat juga terjadi ageusia (hilangnya sensasi perasa).
o Dapat terjadi dysestesia (kerusakan sensasi atau sensasi yang tidak enak terhadap stimuli normal).
• Reinervasi nervus fasial yang menyimpang
o Setelah hantaran saraf dari nervus fasial yang terganggu memulai proses regenerasi dan perbaikan, beberapa serabut saraf dapat mengambil jalur yang tidak biasanya dan berhubungan dengan serabut tetangga. Perhubungan yang tidak biasa ini menghasilkan jalur neurologis yang tidak biasa.
o Ketika gerakan volunter dimulai, mereka disertai dengan gerakan involunter (ms, gerakan penutupan mata diikuti dengan mata yang tidak terlindungi). Gerakan involunter yang disertai dengan gerakan volunter ini disebut dengan sinkinesis.

Prognosis:
• Perjalanan penyakit Bell palsy yang alami bervariasi dari penyembuhan komplit secara dini hingga perlukaan saraf yang substansial dengan sekuele yang permanen. Berdasarkan prognosisinya pasien terbagi menjadi 3 kelompok dengan jumlah yang kasarnya sama tiap-tiap kelompoknya.
o Grup 1 mendapatkan kesembuhan fungsi motorik fasial komplit tanpa sekuele.
o Grup 2 mengalami kesembuhan fungsi motorik fasial yang tidak komplit tetapi tanpa defek kosmetik yang jelas pada mata yang tidak terlatih.
o Grup 3 mengalami sekuele neurologis permanen yang jelas terlihat secara kosmetik maupun klinis.
• Sebagian besar pasien mengembangkan paralisis fasial inkomplit selama fase akut. Grup ini mempunyai prognosis kesembuhan total yang sempurna. Pasien memperlihatkan paralisis komplit beresiko tinggi terhadap sekuele berat.
• Dari pasien-pasien dengan Bell palsy, 85% mencapai kesembuhan komplit. Sepuluh persen diganggu oleh beberapa otot fasial yang tidak simetris, sedangkan 5% pasien mengalami sekuele berat.

Edukasi Pasien:
• Perawatan mata
o Lindungi mata dari benda asing dan cahaya matahari.
o Jaga agar mata tetap terlumasi dengan baik.
o Edukasi pasien untuk melaporkan temuan-temuan okuler baru seperti nyeri, sekret, atau perubahan visus.

SUBDURAL HEMORAGIK

PENDAHULUAN
Rongga subdural ialah rongga potensial kecil yang terletak antara duramater bagian dalam dan araknoid. Lapisan cairan yang tipis di dalam rongga subdura bukan cairan serebrospinal. Rongga epidura yang mengelilingi SSTL ialah rongga antara duramater dan perosteum tulang belakang. Rongga ini berisi pembuluh darah dan lemak. Rongga epidura tidak ada dibagian kepala oleh karena di bagian ini duramater bagian dalam dan luar bersatu rapat, kecuali pada tempat-tempat dimana kedua lapis duramater itu membentuk dinding sinus venosus dura yang menguras darah vena dari otak. Duramater berlanjut pada saraf otak dan spinal sehingga sering duramater yang sebenarnya bersinambung dengan epineurium saraf-saraf perifer. Rongga epidura di daerah sacral SSTL di dalam klinik digunakan untuk tempat suntikan zat anestesi untuk membendung input sensorik dari perifer ( pada persalinan tanpa nyeri ) (1) .
Tiga selaput otak atau meningen yang membungkus otak : duramater, araknoid, dan piamater. Dura selaput terluar dipisahkan dari araknoid yang tipis oleh kompartment potensial. Kavum subdural biasanya hanya berisi beberapa tetes cairan serebrospinal. Kavum subaraknoid yang luas mengandung cairan serebrospinal dan arteri-arteri utama yang memisahkan araknoid dari piamater, yang secara lengkap menyelubungi otak. Araknoid dan piamater dikenal sebagai leptomeningen dan saling dihubungkan oleh benang-benang halus di jaringan trabekula araknoid. Piamater bersama dengan perluasan dari ruang subaraknoid yang sempit, menyertai pembuluh-pembuluh sampai kedalam jaringan otak. Ruang ini dinamakan ruang perivaskular atau ruang Virchow Robin (3) .
Di negara-negara barat, kecelakaan merupakan penyebab utama kematian individu yang berumur kurang dari 45 tahun. Angka cedera kepala mendekati 70% dari kematian akibat trauma ini dan sebagian besar mengalami kecacatan bagi orang yang mengalami kecelakaan bertahan hidup. Namun hampir 50% pasien dengan cedera kepala yang memerlukan bedah saraf darurat datang dengan cedera kepala ringan atau berat ( GCS score 9-13 dan 14-15, secara berurut). Beberapa pasien mempunyai lasi massa intrakranial yang memerlukan dekompresi darurat lebih dari setengahnya mempunyai lucid interval dan mereka mampu membuat percakapan lantaran waktu terjadinya cedera dan rangkaian perubahan (7) .
Hematom intrakranial mempunyai peran penting dalam kematian dan kecacatan yang dihubungkan dengan cedera kepala. Hematom subdural akut merupakan tipe yang paling sering dari hematom intrakranial traumatic. Ditemukan dalam 24% pada pasien koma. Tipe cedera kepala ini juga sangat berhubungan dengan kerusakan otak yang lambat, yang kemudian digambarkan pada CT-Scan. Trauma signifikan tidak hanya disebabkan oleh hematom subdural. Hematom subdural kronik dapat terjadi pada kejadian sebelumnya yang tidak pernah diketahui (7) .

DEFINISI
Perdarahan Subdural adalah pengumpulan darah di ruangan antara bagian dalam dan bagian luar selaput pembungkus otak. Gejala sering terjadi singkat setelah head injury (4) .
Perdarahan subdural kronik adalah pengumpulan darah yang lama (beberapa minggu setelah injury ) dan darah berkumpul antara permukaan otak dan penutup luarnya (dura ) (5) .
Perdarahan subdural kronik didefinisikan tidak tentu sebagai suatu hematom yang tampak dalam 21 hari atau lebih setelah cedera. Hematom subdural akut didefinisikan secara tidak tentu sebagai suatu hematom yang tampak antara 4 hari sampai 21 hari setelah cedera (7) .

EPIDEMIOLOGI
Hematom subdural yang akut jarang terjadi. Literatur tentang laporan kasus sporadic sangat terbatas. Kasus ini sering mempunyai suatu sumber arteri, karena mereka biasanya dihubungkan dengan keadaan patologis yang sama seperti yang terjadi pada perdarahan subaraknoid dan perdarahan intraserebral. Darah dari ruptur aneurisma bisa masuk memotong melalui parenkim otak atau ruang subaraknoid. Nyatanya, kasus telah dilaporkan mengenai suatu hematom subdural akut yang dicetus dengan penyalahgunaan kokain (7) .
Suatu penelitian retrospektif melaporkan bahwa 56% dari kasus pada pasien dalam kelima dan decade ketujuh. Penelitian lain mencatat bahwa lebih dari setengah dari semua kasus terlihat pqada pasien >60 tahun . Insiden yang tertinggi dari 7,,35 per 100.000 terjadi pada remaja dengan umur 10-19 tahun (7)
Rata-rata mortalitas pada pasien dengan hematom subdural akut dilaporkan berkisar 30-90 %, tetapi sekitar 60% adalah tipikal . Rata-rata morbiditas dan mortalitasnya dihubungkan dengan pengobatan secara pembedahan dari hematom subdural kronik, telah diperkirakan berkisar 11% dan 5% secara berurutan. Hematom subdural dapat terjadi pada semua umur (4,7 )
ETIOLOGI
Hemoragi subdura biasanya disebabkan oleh sobeknya vena di tempat vena itu melalui rongga subdura. Gerak otak depan relatif terhadap dura dengan mendadak, dapat terjadi setelah mendapat pukulan yang tidak mengakibatkan fraktur tengkorak (1) .
Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis walaupun traumanya mungkin tidak berarti ( trauma pada orang tua ) sehingga tidak terungkap oleh anamnesis. Yang seringkali berdarah ialah bridging veins, karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik otak (6) .
Subdural merupakan lapisan sebelum dura ( duramater adalah membran pembungkus terluar dari otak ). Subdural hematom terjadi ketika darah vena yang berlokasi antara lapisan pembungkus otak ( meningen ) ditemukan darah setelah head injury pada kepala. Subdural hematom timbul ketika vena-vena yang berjalan antara dura dan permukaan otsk pecah dan mengeluarkan darah. Pengumpulan darah kemudian terbentuk diatas permukaan otak. Pada pengumpulan subdural kronik, darah yang berasal dari vena-vena berjalan lambat. Ini dapat terjadi karena head injury atau frekuensi kurang, itu dapat terjadi spontan jika pasien agak tua (4,5) .
Hematom subdural kronik biasanya dihubungkan dengan atropi serebral. Vena batang kortek diperkirakan tekanannya menjadi lebih rendah sebagaimana penyusunan otak yang berangsur-angsur dari tulang tengkorak, bahkan trauma minor bisa menyebabkan satu dari vena menjadi bocor. Perdarahan yang lambat dari sistem vena yang bertekanan rendah sering bisa memperbesar bentuk hematom sebelum nampak tanda-tanda klinis. Hematom subdural yang kecil sering diabsorbsi secara spontan. Kumpulan yang besar dari darah subdural sering mengatur dan membentuk membran vaskuler yang menyelubungi hematom subdural. Perdarahan kecil yang berulang , vena bersama dengan membran ini bertanggung jawab terhadap perluasan dari beberapa hematom subdural (7) .

KLASIFIKASI DAN FAKTOR RESIKO
Subdural hematom sering terjadi sebagai komplikasi dari setelah head injury.Terdiri atas :
- Hematom subdural akut, yang berlangsung cepat, dengan gejala biasanya timbul dalam 24 jam setelah kecelakaan . Deteriorasi terjadi setelahnya.
- Hematom subdural subakut, biasanya timbul gejala dalam 2-10 hari setelah kecelakaan karena penumpukkan darah terjadi lambat dalam subdural. Jelasnya, symptom kecelakaan terjadi secara periodic, dilanjutkan dengan symptom hematom subdural (4) .

Yang termasuk factor resiko (4,5 ) :
 Head injury
 Umur sangat muda atau sangat tua
 Penggunaan aspirin dalam waktu lama
 Pengobatan antikoagulan kronik
 Alkoholik atau penggunaan alcohol kronik
 Beberapa gangguan yang bisa menyebabkan koma

PATOFISIOLOGI
Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid, kedalam rongga subdural ( hemoragi subdura ) antara dura bagian luar dan tengkorak ( hemoragi ekstradura ) atau ke dalam substansi otak sendiri. Putusnya vena-vena penghubung ( bridging veins ) antara permukaan otak dan sinus dural adalah penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena anak-anak memiliki vena-vena yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak ( karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko yang lebih besar (1,3) .
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging veins” . Karena perdarahan subdural sering disebabkan olleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah ( higroma ) (6) .
Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme. Perdarahan yang terjadi akibat rusaknya arteri kortikal (termasuk epidural hematom), perdarahan dari rusaknya dasar parenkim, dan kebocoran pembuluh darah dari korteks terhadap satu dari aliran sinus venosus (7 ) .
Pada semua kasus , pergerakan sagital dari kepala bisa dihasilkan dengan suatu akselerasi angular (kaku ) yang menyebabkan ruptur batang vena parasagital dan suatu hematom subdural yang berat. Gennereli dan Thibault menggambarkan bahwa rata-rata akselerasi dan deselerasi dari kepala merupakan factor utama kegagalan vena (7 ) .

GEJALA KLINIS
Sebenarnya dalam latent interval kebanyakan penderita hematom subdural mengeluh tentang sakit kepala dan pening, seperti umumnya penderita kontusio serebri juga mengeluh setelah trauma kapitis. Tetapi apabila disamping itu timbul gejala-gejala yang mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial, baru pada saat itu timbulnya manifestasi hematom subdural. Gejala-gejala tersebut bisa berupa kesadaran yang makin menurun, “organic brain syndrom”, hemiparesis ringan, hemihipestesia, adakalanya epilepsy fokal dengan adanya tanda-tanda papiledema (6) .
Gejala yang dapat tampak adalah (2): :
1. Penderita mengeluh sakit kepala yang semakin bertambah terus.
2. Tampak ada gangguan psikik.
3. Setelah beberapa lama tampak kesadaran tambah menurun.
4. Kelainan neurologis yang mungkin tampak adalah hemiparese, bangkitan epilepsy, dan papiledema.
5. Arterigrafi karotis dapat memperlihatkan adanya perpindahan ( shift ) dari a.perikallosa ke sisi kontralateral, sedangkan di tempat lokasi dari hematom subdural sendiri akan tampak suatu daerah bebas kontras yang berbentuk bifocal.
6. CT-Scan akan dapat memperlihatkan hematom tersebut dengan baik.

Pada 75% kasus, sakit kepala timbul dengan gejala-gejala paling kurang satu dari karakteristik berikut ini : onsetnya tiba-tiba, nyerinya berat, nausea dan muntah-muntah dan eksaserbasi batuk, ketegangan otot atau latihan. Gejala umum lainnya adalah kelemahan, kejang-kejang, dan inkonntinensia. Hemiparesis dan penurunan kesadaran merupakan tanda yang paling sering terjadi. Hemiparesis terjadi ipsilateral dengan hematom pada 40% kasus (7) .


DIAGNOSA
Penegakkan diagnosa subdural hematom kronis tidaklah gampang. Gejala-gejalanya sangat menyerupai gejala suatu tumor serebri. Hematom subdural kronis itu terletak antara duramater dan araknoid. Ia dapat menyerap cairan dari sekitarnya sehingga lama kelamaan akan bertambah besar. Simptomatologinya sangat menyerupai gejala suatu tumor serebri. Trauma kapitisnya sendiri begitu ringan. Sehingga dapat terjadi bahwa si penderita sendiri tidak ingat lagi tentang kapan dan dimana kepalanya terbentur. Trauma kapitisnya tidak menimbulkan kesadaran menurun (2) .
Pemeriksaan neurologik yang awal menyediakan suatu garis dasar yang penting yang harus digunakan untuk memfollow-up perjalanan klinis pasien. Jika dicatat dalam bentuk score GCS, ia juga memberikan informasi prognostic yang penting (7) .
Pasien dengan cedera kepala yang serius sering di intubasi dengan cepat dan diberikan perawatan yang diorientasi pada trauma. Namun karena prognostiknya yang signifikan, pemeriksaan neurology yang singakat diukur dengan menggunakan GCS yang merupakan komponen penting dari penilaian skunder dan memerlukan waktu kurang dari 2 menit untuk menyempurnakannya (4) .
Lihat tanda-tanda dari fraktur tulang tengkorak basilar. Ini termasuk ekimosis bilateral (mata racoon) dan ekimosis retroaurikuler. Area di sekitar laserasi harus dicukur dan di inspeksi. Pasien dengan cedera kepala yang berat harus dinilai cedera kepala tulang servikal (C-spine); immobilisasi pasien sampai penelitian klinis dan penelitian radiografik dapat dibuktikan sebaliknya (5) .

DIAGNOSA PENUNJANG (7)
Pemeriksaan Laboratorium
 Prevalensi abnormalitas koagulasi telah lama dikenali pada pasien cedera kepala. Abnormalitas ini dipercaya akibat pelepasan dari bahan-bahan tromboplastik oleh kerusakan jaringan otak.
 Pada suatu ulasan 253 pasien dengan cedera kepala yang memerlukan pemeriksaan CT-Scan, resiko perkembangan otak yang lambat seperti yang terlihat pada CT-Scan meningakt dari 31% pada pasien dengan koagulasi. Reperensi rata-rata hampir 85% pada pasien dengan penemuan abnormal terhadap protrombine time (PT), activated Partial Thromboplastin Time (aPTT), atau hitung platelet.
 Fresh frozen plasma atau platelet sebaiknya diberikan jika perlu, menunggu hasil dari penelitian ini sebaiknya tidak menunda pembedahan darurat.
 Produk-produk darah dapat diberikan secara intraoperatif untuk memperbaiki parameter pembekuan. Abnormalitas elektrolit dapat mengeksaserbasi cedera kepala dan sebaiknya dikoreksi dengan suatu alat penghitung waktu.

Pemeriksaan Imaging
 Modalitas imaging yang dipilih untuk memfasilitasi keputusan ini adalah CT Scan kepala. Namun jika menjadi osiden terhadap otak, hematom ini mungkin tidak dapat dideteksi hematom subdural akut.
 Hematom subdural akut tampak sebagai suatu hiperdense, konkaf terhadap otak, dan garis suturanya tidak jelas, berbeda dengan hematom epidural dimana konveks tehadap otak dan garis suturanya berbatas jelas.
 MRI merupakan suatu alternatif yang ada yang mampu menggambarkan CSDH dengan jelas.
 Serial C-Spine X-Ray penting dalam mengevaluasi kemungkinan adanya fraktur C-Spine yang menyertai.

DIAGNOSA BANDING (7)
Epidural hematom
Subaraknoid hemorrhage

KOMPLIKASI (4,7)
Komplikasi yang paling sering adalah reakumulasi hematom, perdarahan intraserebral yang disebabkan oleh pergeseran atau irigasi drainase tube yang salah, pneumoencepalus tension, seizure dan empyema subdural .
 Karakteristik dari sindrome herniasi bisa terjadi selama terjadi pergeseran otak. Seperti halnya lobus temporal medial, atau uncus, herniasi melewati tentorium. Ini dapat menekan arteri cerebral poaterior ipsilateral, nervus okulomotorius, dan pedunkulus serebri. Secara klinis rangkaian kelumpuhan nervus okulomotorius dan kompresi pedunkulus serebri sering bermanifestasi sebagai dilatasi pupil ipsilateral dan hemiparesis kontralateral.
 Pasien bisa juga menderita stroke dari distribusi arteri cerebral posterior. Hampir 5% kasus, hemiparesis bisa ipsilateral dengan dilatasi pupil. Fenomena ini disebut sebagai fenomena Kernohan Notch Syndrome dan terjadi jika herniasi unkus menekan otak tengah bergeser sehingga pedunkulus serebri kontralateral ditekan melawan incisura tentorial kontralateral.

PENATALAKSANAAN (4,5,7)
Seperti halnya pasien pada setiap trauma, resusitasi dimulai dengan ABC (Airway, Breathing, Circulation ).
 Semua pasien dengan score GCS < 8 harus diintubasi untuk membebaskan jalan nafas.
 Lakukan pemeriksaan neurologis yang jelas. Respirasi yang adekuat harus dilaksanakan pada awalnya dan dipertahankan untuk menghindari terjadinya hipoksia. Hiperventilasi dapat dilaksanakan jika terjadi sindrom herniasi.
 Tekanan darah harus dipertahankan pada keadaan normal atau pada level yang tinggi dengan menggunakan salin isotonic dan/alat pressor.
 Sedatif short acting dan obat-obat paralitik harus digunakan hanya jika perlu untuk memudahkan ventilasi yang adekuat.
 Jika diduga terjadi peningkatan tekanan intrakranial atau memperlihatkan gejala sindrom herniasi, maka berikan manitol 1 g/kg dengan cepat secara IV.
 Berikan obat-obat antikonvulsan untuk mencegah iskemik yang diinduksi serangan dan rangkaian kejang dalam tekanan intrakranial.
 Jangan berikan steroid, seperti yang telah mereka temukaN dimana tidak efektif pada pasien dengan cedera kepala.
Hematom subdural kronik simptomatik ditangani secara pembedahan. Craniotomy merupakan pilihan yang valid. Namun drinase burr hole dan twist drill craniotomy kurang invasive dan mempunyai tampakan yang sama-sama efektif.

PROGNOSA
Tidak ada prognostic yang jelas yang dihubungkan dengan hematom subdural kronik. Sementara beberapa pengarang telah menemukan suatu hubungan dengan tingkat preoperative dari fungsi neurologis dan hasil akhir, yang lain tidak. Diantara 86% dan 90% pasien dengan CSDH diobati dengan adekuat setelah prosedur pembedahan (4) .
Rata-rata mortalitas dikeseluruhan seri adalah 50%. Rata-rata mortalitas untuk semua dari 37 pasien dengan score GCS 3 adalah 100% danrata-rata mortalitas dihubungkan dengan nonreaktif pupil sebelah yaitu 48%, dengan nonreaktif pupil bilateral 88%, yang sangat menarik, rata-rata yang bertahan hidup pada pasien dengan nonreaktif pupil bilateral adalah 12% meskipun hasil akhirnya tidak dicatat (7) .

KESIMPULAN
Anggapannya adalah cedera kepala primer dihubungkan dengan hematom subdural mempunyai peran utama dalam kematian pasien. Namun kebanyakan hematom subdural diperkirakan berasal dari kebocoran batang vena. Tidak semua hematom subdural dihubungkan dengan cedera parenkim diffuse. Penilaian dan pengawasan yang tidak adekuat pada pasien pada saat masuk RS bisa menyebabkan kehilangan kesempatan untuk perawataan pasien yang masih mempunyai resiko perubahan neurologis yang lambat. Ini dapat mengakibatkan kemaatian dan morbiditas yang tidak menguntungkan jika terjadi serangkaian herniasi.








TINJAUAN KEPUSTAKAAN

1. Noback, C.R dan Robert, J.D, Anatomi Susunan Saraf Manusia ; EGC; Jakarta ; 1990; hal.31
2. Ngoerah, I Gst.Ng.Gd, Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf; Airlangga University Press; Surabaya; 1991; hal.312
3. Groat, J.D, Neuroanatomi korelatif; Cetakan I; Edisi ke-21; EGC; Jakarta; 1997; hal.145
4. Charles,P,M.D, e-Medicine Journal:Subdural Hematom Akut/subakut; Department of Neurological Surgery, Beth Israel Medical Center, New York; 2001
5. Elaine,T.Kiriakopoulos,M.D, journal of Medicine:Chronic Subdural Hematom ; Department of Neurological; Beth Israel Deaconess Medical Center, Harvard University, Boston; 2002.
6. Mardjono, M dan Priguna ,S; Neurologi Klinis Dasar; Cetakan ke-8; Penerbit Dian Rakayat; 2000.
7. Meagher, R.J dan William, F.Y; e-Medicine : Subdural Hematome; Temple University; 2002.



DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar isi ii
Pendahuluan 1
Definisi 2
Epidemiologi 3
Etiologi 4
Klasifikasi dan Faktor Resiko 5
Patofisiologi 6
Gejala Klinis 7
Diagnosa 9
Diagnosa Penunjang 10
Komplikasi 11
Penatalaksanaan 12
Prognosa 13
Kesimpulan 14
Daftar Kepustakaan 15





KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tinjauan kepustakaan ini.
Penulisan tinjauan kepustakaan dimaksudkan sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepanitraan Klinik Senior di Lab/SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUZA Banda Aceh dan juga sebagai latihan untuk merangkum beberapa sumber ilmu menjadi suatu tulisan yang bermanfaat.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Syahrul, Sp. S selaku pembimbing dan dokter-dokter lain yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis selama menjalani KKS di bagian ini. Tidak lupa pula ucapan terima kasih kepada para dokter muda serta staf paramedis di bagian ini yang telah memberikan kerjasama dan bantuan yang baik.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan tinjauan kepustakaan ini masih banyak kekurangan dan masih sangat jauh dari kesempurnaan. Karenanya saran dan kritikan yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan di masa mendatang. Semoga tinjauan kepustakaan ini berguna bagi penulis sendiri dan bagi pembaca sekalian.

Banda Aceh, Oktober 2003
Penulis